Reposisi MUI

Reposisi MUI

Maka, setelah resposisi MUI pascareformasi politik, masih diperlukan langkah reposisi ulang. Peristiwa penangkapan terhadap salah seorang pengurusnya oleh Densus 88 harus menjadi pemicu MUI untuk melakukan reposisi kembali.

Jika beberapa waktu terakhir, MUI –meski seringkali bukan atas nama kelembagaan– ikut menyuarakan pemikiran keagamaan yang terlalu kanan, maka hal itu tidak perlu terjadi lagi. MUI tidak bisa menjadi pesaing ormas keagamaan yang telah mapan seperti NU dan Muhammadiyah.

Ia harus menjadi bagian dari penjaga negara kesatuan dan persatuan. Dengan tetap dalam jalur visi dan misinya, MUI semestinya bisa menjalankan peran tersebut. Misi mengembangkan ukhuwah Islamiyah dan kebersamaan dalam persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah NKRI harus menjadi arus utamanya.

Ini adalah misi ketiga MUI.

Sedangkan misi pertamanya adalah menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan umat dengan menjadikan ulama sebagai panutan. Apalagi dengan penegasan untuk mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan dan memupuk akidah Islamiyah serta mewujudkan syariah Islamiyah.

Penekanan misi pertama dalam AD/ART MUI itu memberikan ruang penafsiran yang bisa bertentangan dengan misi ketiga. Juga, bisa dimaknai sebagai ancaman bagi elemen lain bangsa ini yang sudah terikat dengan konsensus bersama oleh founding fathers bangsa ini. 

Saya termasuk yang tidak setuju dengan gerakan membubarkan MUI. Namun, diperlukan reposisi ulang peran dan fungsi lembaga yang didirikan pemerintahan otoriter Soeharto itu. Jika ini bisa dilakukan, MUI akan bisa menjadi semacam benteng baru bagi keberlangsungan bangsa Indonesia.

Jika dulu, ketika berdiri, menjadi alat kooptasi pemerintahan yang berkuasa. Kini harus menjadi bagian tiang negara yang menjaga pluralisme bangsa Indonesia dengan memberikan ruang kepada religiusitas dari masing-masing keyakinan umat.

Juga tidak, perlu mengibarkan bendera tinggi-tinggi sebagai representasi kepemimpinan umat. Sebab, jika orientasi itu terus dikibarkan bisa memantik masalah dengan ormas Islam yang telah kokoh jauh sebelum MUI berdiri. Ormas Islam yang telah menjadi bagian sejarah lahirnya bangsa Indonesia.

Saya kira menjaga NKRI itu seperti bagaimana seharusnya negara-negara lain menjaga demokrasi. Upaya menggerogoti NKRI tidak mesti dengan perlawanan fisik. Tapi, bisa melalui lembaga-lembaga yang sah. Bisa terlihat sebagai perjuangan yang legitimate dan prosedural. Misalnya, masuk melalui lembaga semacam MUI.

Tentu mayoritas bangsa ini tak ingin NKRI mati.

Seperti juga demokrasi yang mati di negara tempat bersemainya –seperti diungkap Steven Levitsky dan Daniel Ziblat– NKRI bisa juga mati. Bukan lewat kudeta militer atau semacamnya, tapi melalui penggerogotan lewat lembaga dan mekanisme yang seakan-akan sah.

Karena itu, kita perlu waspada dengan pertanda-pertanda. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: