Bantu Korban Banjir di Lewoleba, Menyaksi Bung Karno di Pengasingan
Esoknya, pukul enam pagi kami berangkat menyeberang menuju Lembata. Menumpang perahu penyeberangan. Pemandangan gugusan pulau-pulau di NTT sungguh mengasyikkan. Air laut menderu, berdebur membentur badan perahu.
Di seberang telah terlihat samar Gunung Lewotolo. Di kaki gunung itulah lokasi Lewoleba yang dihantam banjir bandang. Saya dan kawan-kawan tak sabar rasanya ingin segera membantu para penduduk di sana.
Pukul delapan pagi kami sampai di Lembata. Cuaca pagi serta awan mendung tipis menunjukkan keperkasaan Lewotolo. Udaranya juga lumayan dingin. Saya sejenak turun dari dermaga Lembata dan melangkah ke pantai berpasir.
Sengaja saya lepas alas kaki untuk merasakan lembutnya pasir dan kerikil pantai. Saya berfoto sejenak sambil menunduk. Latar Gunung Lewotolo tampak gagah membiru. Asap tipis mengepul dari puncaknya dengan segaris awan menyembul. Tak berlama-lama, kami segera bergegas ke lokasi bencana.
Perjalanan darat hanya memakan waktu sekitar setengah jam, dari dermaga ke Lewoleba. Di sana jelas terlihat dampak kerusakan dari banjir bandang. Kayu-kayu dan material sisa banjir berserakan di jalan.
Beberapa rumah rusak parah, sampai tak terlihat lagi bentuknya. Anak-anak di tenda pengungsian tampak gelisah dengan tatapan mata kosong.
Arul Lamandau bersama teman-teman komunitas Petarung Kehidupan yang membantu korban terdampak banjir di Lewoleba, NTT. (Arul Lamandau untuk Harian Disway)
Selama lima hari saya dan kawan-kawan berada di Lewoleba. Membangun tandon air, membagi-bagikan sembako serta beberapa orang mengajak anak-anak berkegiatan. Demi mengurangi rasa traumatik mereka, atau traumatic healing.
Mereka tampak riang ketika kami menghibur dengan bermain musik dan bernyanyi. Di hari ketiga anak-anak itu diajak untuk mewarnai bersama. Menunjukkan karyanya masing-masing. Setidaknya mereka bisa tersenyum dan riang, itulah yang menjadi kepuasan kami.
Hari kelima, kami berencana kembali ke Ende. Sebelum berangkat, anak-anak memeluk kami erat-erat, seakan tak ingin kami pergi.
”Kakak, kembalilah lagi, janji ya kak,” ujar salah seorang anak perempuan yang memeluk saya. Kami saling mengaitkan jari kelingking. ”Ya, suatu saat saya akan kembali lagi,” jawab saya sambil menyeka air matanya.
Kami pun berangkat ke Ende diiringi lambaian tangan dari anak-anak itu. Melalui rute yang sama dan sempat beristirahat kembali di Larantuka. Esoknya, kami berjalan menuju Ende.
Tapi sebelumnya, rombongan sempat mampir di Situs Rumah Pengasingan Bung Karno yang berada di Jalan Perwira, Ende Utara. Saya masuk dan menyaksikan ruangan tempat Sang Proklamator itu menghabiskan waktunya dengan membaca buku dan menyusun pemikiran-pemikiran tentang kebangsaan.
Kondisi Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende yang menjadi tempat wisata sejarah paling populer di Ende. Arul Lamandau tampak berdiri di tengah pintunya. (Arul Lamandau untuk Harian Disway)
Bangunan itu masih asli, berdinding kayu dengan atap seng. Konon di rumah itulah Bung Karno mencanangkan ide tentang Pancasila sebagai ideologi bangsa. Di sebelah bangunan itu terdapat Gereja Katolik Katedral Ende.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: