Taburan Pasir Kecoh Tentara Inggris
Markas Besar Oelama di Waru, Sidoarjo, menyimpan berbagai kisah tentang karomah para kiai. Konon, di tempat tersebut para pejuang leluasa menyerang tentara Inggris yang tengah kebingungan.
BANGUNAN tua yang telah rapuh dan keropos itu menyimpan berbagai kisah perjuangan para kiai dan santri. KH Bisri Syansuri menjadi pemimpin. Didampingi oleh KH Wahab Hasbullah. Mereka berjuang ketika pertempuran 10 November pecah di Surabaya.
“Para kiai dan santrinya kalau salat di lantai atas,” ujar Ahmad Gojali, yang diberi amanat PWNU Jawa Timur untuk menjaga bangunan tersebut. Ia mempersilakan Harian Disway untuk melihat-lihat lokasi lantai dua tersebut.
Tangga yang tersedia masih asli. Tak diubah sejak bangunan tersebut pertama kali dibangun pada 1939. Berbahan kayu, menempel di dinding bagian selatan dengan pegangan besi di sisi kanannya.
Ketika menapak anak tangga, terdengar suara derit. Waswas juga, sepertinya tangga itu tak kuat menahan beban. “Pelan-pelan saja. Jangan khawatir, aman kok,” ujar Gojali. Sampai di pertengahan anak tangga, terlihat dinding lantai dua tersebut yang mengelupas tak terawat. Batu batanya sebagai dasar bangunan itu terlihat menghitam.
“Mandeg-mandeg! Wes tutuk kono ae (Berhenti, sampai situ saja, Red),” ujar Gojali ketika saya sampai di pucuk anak tangga teratas. Ia menyuruh berhenti dan tak mengizinkan untuk naik ke lantai dua karena kondisi lantai kayunya telah sangat rapuh.
Lantainya memang terdiri atas kayu-kayu yang disejajarkan dari ujung utara hingga selatan. Terlihat berlubang-lubang. Bahkan beberapa patah. Cukup gelap. Penerangan hanya berasal dari cahaya yang masuk dari celah-celah atap dan jendela kecil.
“Ya di situ itu tempat Kiai Bisri atau Kiai Wahab memimpin salat berjamaah,” ujar Gojali dari bawah. Ia setengah berteriak sambil menangkupkan tangannya ke bibir, membentuk corong.
Meski terkesan tak terawat, kotor, juga kayu-kayu yang serat-seratnya mengelupas, lantai dua tersebut sama sekali tak berkesan angker. Malah terasa sejuk dan adem. “Jelas sama sekali tidak seram, wong dulu yang salat di situ kiai-kiai setingkat wali,” ujar pria 52 tahun itu.
Konon ketika menempati bangunan itu, Kiai Bisri dan Kiai Wahab ingin menjamin bahwa kegiatan salat mereka dapat tetap berjalan di tengah pertempuran 10 November. Maka sebelum salat, Kiai Bisri didampingi Kiai Wahab dan santri-santrinya, berjalan ke halaman bangunan. Saat itu tangan Kiai Bisri menggenggam butiran pasir. Ia berdoa, lalu menghembuskan napasnya di atas genggaman tangan itu.
Kiai Bisri dengan tenang berjalan ke tiap sudut bangunan sembari menaburkan butiran pasir tersebut. Desingan peluru dan suara mortir tentara Inggris terdengar dari kejauhan. Para serdadu Inggris yang dibantu tentara Gurkha dari Nepal serta NICA dari Belanda itu rupanya telah dekat.
Dengan tenang pula Kiai Bisri menyuruh semua orang untuk salat di lantai dua. “Aman, atas perlindungan Allah. Mari kita salat asar dulu,” ujarnya, seperti diceritakan oleh Gojali. Pintu utama bangunan pun ditutup.
Para santri yang berada di bangunan Markas Besar Oelama tersebut merupakan santri-santri yang linuwih pula. Kemampuan kanuragan mereka cukup tinggi. Ketika salat di lantai dua, terdengar derap sepatu tentara angkatan darat Inggris sedang berlalu-lalang di sekitar lokasi bangunan. Mereka semua tak terpengaruh dan terus melaksanakan salat hingga selesai.
Seusai salat, Kiai Bisri dan Kiai Wahab menuruni tangga dengan tenang, diikuti santri-santrinya. Para santri tersebut telah siap dengan senjata masing-masing.
Tempat salat para ulama di Markas Besar Oelama.
(Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: