Jejak Markas Pertama ada di Blauran

Jejak Markas Pertama ada di Blauran

Sedangkan Masjid Miftahul Jannah, di depan bangunan tersebut, dulu digunakan para pejuang untuk salat berjamaah. Bangunan masjid itu pun telah berubah. Berpagar besi dengan ruang dalam berlantai keramik yang cukup nyaman. Ada beberapa orang yang sedang bersantai di dalam masjid tersebut.

Tak banyak informasi yang didapat selain kesaksian pemilik rumah dan sumber dari beberapa artikel sejarah serta buku Surabaya Kota Pahlawan Santri. Rupanya PBNU atau PCNU Surabaya juga belum melakukan penelusuran secara intens. Padahal data-data sejarahnya telah tersedia.

Apabila terbukti bahwa rumah itu merupakan bekas Markas Besar Oelama yang pertama, maka keberadaannya dapat diusulkan sebagai bangunan cagar budaya, seperti yang saat ini tengah diupayakan pada bangunan Markas Besar Oelama di Waru.

Blauran dan gang-gang kecilnya merupakan saksi bisu perjuangan ulama, serta peristiwa-peristiwa sebelum, saat dan sesudah perang 10 November. Des Alwi Abu Bakar, pejuang yang turut hadir di Surabaya dan bergabung dengan Laskar Pemuda Republik Indonesia (PRI), menuliskan kesaksiannya tentang sebuah peristiwa yang terjadi tepat di depan Gang 1, Blauran. 

Dapat disimak dalam bukunya berjudul Pertempuran Surabaya November 1945: pernah aku melihat di gang I Blauran, kerumunan penduduk. Mereka antre untuk bisa mendapatkan satu botol air. Ternyata air tersebut diberi doa oleh seorang menjamin kekebalan. Dari mana beliau datang tidak pernah aku ketahui dan juga tidak perlu dipersoalkan. Pokok, sosok sepuh terpanggil turun tangan memberikan bekal semangat berikut doa keselamatan bagi para pejuang. Beberapa pejuang yang sedang penat langsung ikut minum aur bertuah itu. Sebuah bantuan spiritual yang sangat bermakna pada masa itu...

Gang 1 tersebut menghadap arah barat, seberang deretan toko perhiasan pasar Blauran. Di situlah kiai misterius tersebut membagi-bagikan air bertuahnya. “Saya menduga kiai tersebut adalah Kiai Abbas Jamil dari Cirebon, kawan dekat KH Hasyim Asy’ari,” ujar Rijal. Bahkan sang founding father NU tersebut pernah mengatakan tidak akan memulai pertempuran kecuali setelah Kiai Abbas tiba di Surabaya. “Sebab, Blauran menjadi basis utama para ulama saat perang 10 November,” tambah pria 37 tahun itu.

Berbeda dengan rumah di Jalan Blauran gang IV yang bersih dan terawat, Markas Besar Oelama di Waru tampak memiriskan. Contohnya ketika datang ke sana usai hujan, air tampak menggenang di halaman depan. “Ini belum seberapa. Kalau sudah parah bisa jadi banjir selutut,” ungkap Gojali. (Guruh Dimas Nugraha)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: