Jeruk Jokowi
KPK menyoroti kasus jeruk dengan mengingatkan Jokowi untuk menolak pemberian gratifikasi itu. Hal tersebut berdasarkan Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi dalam hal objek gratifikasi berupa makanan dan/atau minuman yang mudah rusak.
Objek gratifikasi tersebut dapat ditolak untuk dikembalikan kepada pemberi atau jika tidak dapat ditolak, maka dapat disalurkan sebagai bantuan sosial. Sebagai bentuk transparansi, laporan penolakan atau penyaluran bantuan sosial kemudian dapat disampaikan kepada KPK. Begitu pernyataan KPK.
KPK juga mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak memberikan gratifikasi dalam bentuk apa pun kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, khususnya presiden untuk mendapatkan pelayanan dari pemerintah. Sebab, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab mereka untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Perlakuan terhadap gratifikasi seharusnya konsisten sepanjang waktu, tidak kondisional karena keadaan atau karena rasa kasihan. Sepanjang kareirnya, Jokowi menerima sejumlah gratifikasi seharga ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Jokowi lalu menyerahkannya ke KPK untuk menjadi milik negara.
Pada 2016, Jokowi menerima paket hadiah dari sebuah perusahaan di Rusia. Paket itu ditujukan ke Jokowi melalui PT Pertamina. Ada tiga paket yang diterima Jokowi dalam waktu yang tidak bersamaan. Satu paket berisi lukisan, kemudian paket lainnya berisi tea set dan berupa plakat.
Saat menjabat gubernur DKI Jakarta pada 2014, Jokowi pernah diberi kacamata Hawker oleh pembalap MotoGP Jorge Lorenzo setelah bersepeda dari rumah dinasnya ke Balai Kota DKI. Harga kacamata itu sekitar 30 euro atau sekitar Rp 480 ribu.
Setahun sebelumnya, Jokowi menerima hadiah gitar bas dari personel band rock Metallica, Robert Trujillo. Setelah diteliti KPK, gitar seharga Rp 8 juta itu dianggap sebagai bentuk gratifikasi karena diberikan oleh Jonathan Liu sebagai promotor acara musik kepada Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta. Gitar bas itu pun diserahkan ke KPK.
Peringkat Indonesia berdasar indeks persepsi korupsi (CPI) masih memprihatinkan. Dari 180 negara, Indonesia berada di urutan ke-102, sejajar dengan Gambia, negara miskin di Afrika.
Indeks persepsi itu diambil berdasar tingkat korupsi sektor publik yang dirasakan para ahli dan pebisnis.
Skala penilaian yang digunakan ialah 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih). Data dari Tranparansi Internasional menunjukkan, Indonesia hanya mendapatkan skor 37 bersama Gambia yang juga menempati peringkat ke-102.
Di bawah Indonesia, ada Thailand dan Vietnam yang sama-sama memiliki peringkat ke-104. Kedua negara mendapatkan skor 36. Selandia Baru dan Denmark menjadi negara yang mendapatkan peringkat tertinggi. Keduanya sama-sama menduduki peringkat pertama dengan skor yang sama, yakni 88.
Lalu, ada empat negara yang menduduki peringkat ketiga, yakni Finlandia, Swiss, Singapura, dan Swedia. Keempat negara sama-sama memiliki skor 85. Tiongkok menempati peringkat ke-78 sebagai negara yang bersih dari korupsi dengan skor 42.
Laporan CPI pada 2020 ini berfokus pada pengaruh korupsi terhadap respons pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Data itu membandingkan performa negara dengan investasi yang dilakukan di sektor kesehatan dan bagaimana norma demokrasi dan institusi di sana melemah kala pandemi.
Laporan CPI diambil berdasar persepsi masyarakat terhadap kondisi korupsi di negaranya. Laporan itu tidak menunjukkan kondisi korupsi aktual di satu negara. Kalau kondisi aktual korupsi Indonesia disurvei, bisa-bisa posisi Indonesia lebih jeblok dari peringkat ke-102. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: