Kekerasan terhadap Anak Melejit

Kekerasan terhadap Anak Melejit

LEMBAGA Perlindungan Anak (LPA) Jatim mencatat kekerasan terhadap anak sebanyak 352 kasus. Jumlah itu naik hampir dua kali lipat bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 186 kasus. Diperkirakan bakal bertambah hingga akhir tahun.

Tertinggi terjadi di Kota Surabaya, yakni 104 kasus. Menyusul Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, dan Kota Batu. Jenis kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual.

Jumlahnya 33 persen dari seluruh kasus. Bahkan, lokasi kejadian di lingkungan rumah. Tertinggi berikutnya kasus anak berhadapan dengan hukum. Yang terakhir, kasus kekerasan fisik.

Sekretaris LPA Jatim Isa Anshori mengungkapkan beberapa faktor peningkatan kasus kekerasan terhadap anak. Pertama, disebabkan mulai longgarnya aktivitas masyarakat. Artinya, masyarakat sudah mulai berani beraktivitas di luar rumah. ”Begitu ada kasus, mereka langsung lapor,” katanya.

Kondisi itu berbeda dengan tahun sebelumnya. Pelaporan kasus terhitung sedikit. Tidak berarti tak ada kekerasan. Namun, masa awal pandemi menjadi penghambat akses pelaporan.

Kedua, faktor keterimpitan ekonomi keluarga selama pandemi. Banyak orang tua yang kehilangan pekerjaan. Yang berdagang juga banyak yang mengeluh karena sepi pembeli. Padahal, kebutuhan sehari-hari terus mendesak.

Pada kondisi seperti itu, stres seseorang pun meningkat. Anak-anak pun berpotensi menjadi pelampiasan emosi. ”Ini yang memicu jumlah kekerasan terhadap anak bisa tinggi,” paparnya.

Hal itu dibuktikan dengan kasus tertinggi terjadi di lingkungan rumah. Baru selanjutnya terjadi di sekolah, jalanan, dan ruang-ruang kosong. Seharusnya, kata Isa, rumah dan sekolah menjadi tempat paling aman bagi anak-anak.

LPA memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, pemerintah harus segera membentuk unit khusus perlindungan anak. Sedekat-dekatnya. Misalnya, di tingkat RT dan RW. Atau bisa juga melalui posyandu yang ada di setiap wilayah.

”Tugas dan kewenangan itu bisa ditambahkan ke posyandu,” katanya. Mengingat, sejauh ini tugas posyandu hanya seputar pemenuhan gizi anak. Maka, pemda perlu membuat surat edaran terkait penambahan tugas tersebut.

Kedua, di lingkungan sekolah harus tersedia SOP dalam memperhatikan hak anak. Baik hak dalam kegiatan pembelajaran maupun perlindungan. ”Itu terus kami kampanyekan ke sekolah-sekolah selama dua tahun ini,” tandas Isa. (Mohamad Nur Khotib)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: