Surabaya Belum Putuskan PTM

Surabaya Belum Putuskan PTM

SEHARUSNYA Surabaya mulai melakukan pembelajaran tatap muka (PTM) seratus persen bulan ini. Namun sampai kemarin belum ada kepastian tanggal pelaksanaannya. Pemerintah Kota Surabaya berhati-hati. Apalagi varian Omicron sudah masuk Jawa Timur.

Tidak ada yang tahu pasti mekanisme PTM seratus persen. Maklum, pemkot belum mengeluarkan surat edaran (SE) terkait itu. Bahkan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menginginkan kapasitas PTM menjadi 70 persen dulu. Setelah itu dievaluasi. Jika hasilnya bagus, kuota naik menjadi seratus persen.

”Kami juga belum rapat dengan Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya. Jadi belum tahu pasti seperti apa PTM seratus persen,” ujar Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Surabaya Agnes Warsiati.

Sebenarnya pada bulan lalu Dispendik, DPRD Surabaya, PGRI Surabaya, dan Dinas kesehatan (Dinkes) sudah mengadakan rapat internal. Hasilnya mereka siap menjalani PTM seratus persen. Tapi pada saat itu, varian Omicron belum ditemukan di Jawa Timur. Sehingga tingkat kekhawatiran tidak sebesar sekarang.

Tapi ada banyak usulan terkait mekanisme pelaksanaan kebijakan PTM seratus persen. Salah satunya membagi shift siswa menjadi masuk pagi dan siang. Hal itu dicetuskan agar protokol kesehatan (prokes) bisa berjalan di sekolah.

Bagi Agnes, opsi pembagian shift itu masuk akal. Sehingga siswa bisa belajar dengan aman dan nyaman. Tapi sekolah harus bekerja ekstra. Opsi lainnya, siswa digilir untuk masuk sekolah. Sehingga pengajar maupun guru tidak terlalu bekerja keras. ”Kami harus lihat rombel dan ruangan tiap sekolah seperti apa,” katanyi.

Opsi lainnya, menggunakan ide dari Eri. Yakni dilakukan secara bertahap. Selain itu, jam belajar dikurangi. Bisa juga ditambah. Bergantung kesiapan masing-masing sekolah.

Yang jelas gambaran mekanisme pelaksanaan PTM seratus persen masih mengambang. Pemkot harus bekerja ekstra. Apalagi siswa SD banyak yang berusia di bawah 12 tahun. Jika menengok rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), siswa 6-11 tahun disarankan menggunakan metode hybrid. Maksimal 50 persen siswa yang PTM.

”Semua rekomendasi akan kami tampung. Untuk dirapatkan kemudian,” ungkap Agnes.

Sayangnya, ide masuk pagi dan siang ditolak oleh Ketua Dewan Pendidikan Surabaya Yuli Purnomo. Sebab guru harus mengjar lebih lama. Padahal idealnya guru hanya mengajar 6 jam dalam sehari. Ia tidak mau kebijakan PTM seratus persen mengorbankan tenaga pengajar maupun siswa.

Jika PTM seratus persen dipaksakan, otomatis penjagaan jarak antar murid susah dikontrol. Padahal varian Omicron lebih mudah menyerang anak di bawah 12 tahun. ”Jarak bangku itu loh bagaimana cara ngaturnya? Kan tidak mungkin duduk berjejer,” katanya.

Yuli lebih setuju menggunakan usulan Eri. Yakni 70 persen dulu. Baginya,  dengan metode itu masih bisa menerapkan prokes. Ia juga meminta agar murid divaksin dulu sebelum pelaksanaan PTM. Terutama untuk usia 6-11 tahun. Sehingga penularan covid-19 lebih mudah dikontrol.

Surabaya sudah memulai vaksinasi untuk anak. Memakai vaksin Sinovac. Sampai kemarin belum semua anak mendapat vaksin. Masih 70 persen dari target. Vaksin yang telat datang menjadi kendala pemkot untuk menyuntikan vaksin. Tapi penggunaan vaksin tidak serta merta membuat anak kebal dari Covid-19. Mereka yang divaksin memang kekebalan tubuhnya lebih baik. Ketimbang anak yang tidak divaksin.

Sementara itu Anggota Komisi D DPRD Surabaya Tjutjuk Supariono kurang sepakat bila PTM seratus persen dilakukan bulan ini. Menurutnya kasus varian Omicron membuat semua orang menjadi was-was. Termasuk wali murid.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: