PTM 100 Persen, tapi Jarak Bangku 1 Meter

PTM 100 Persen, tapi Jarak Bangku 1 Meter

PEMERINTAH pusat telah melonggarkan aturan pembelajaran tatap muka (PTM). Murid boleh masuk sekolah 100 persen. Pemkot Surabaya rupanya tidak setuju dengan aturan itu. Namun, ada celah yang bisa ditempuh.

Polemik PTM dibahas dalam rapat koordinasi (rakor) yang dihadiri dinas pendidikan (dispendik), dinas kesehatan (dinkes), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jatim, Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi), PGRI Surabaya, serta anggota Komisi D DPRD Surabaya kemarin (5/1).

Pakar epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Windhu Purnomo mengatakan, situasi sudah jauh membaik. Jumlah penambahan kasus harian di Surabaya bisa dihitung jari. Penduduk lebih kebal karena vaksin atau mendapat imunitas alami setelah banyak yang tertular. ”Kita lebih siap dari tahun lalu. Sekarang gimana? Berani enggak kita (membuka PTM 100 persen, Red)?” ujar dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair itu.

Surabaya telah memenuhi semua kriteria yang disyaratkan SKB empat menteri untuk membuka PTM 100 persen. Namun, Windhu mengingatkan, sudah ada ancaman baru yang datang: varian Omicron. Lebih infeksius, tapi tidak lebih mematikan daripada varian Delta.

Ia minta semua pihak tidak panik. Menurutnya, Omicron pasti masuk Surabaya. Kalau tidak masuk, malah aneh. Berarti, testing dan tracing di Surabaya lemah.

Karena ancaman itu, Pemkot Surabaya perlu berhati-hati menafsirkan arahan SKB empat menteri tersebut. Windhu sudah membaca semua klausulnya. ”Ada dua poin yang saya tidak setuju,” ujarnya.

Pertama, pemda tidak diperkenankan menambah aturan PTM yang memberatkan. Semua harus tunduk pada SKB empat menteri itu. Padahal, masalah di setiap daerah berbeda. Yang tahu masalah itu tentu pemerintah daerah masing-masing.

Misalnya, tentang luas ruang kelas dan jumlah siswa di setiap rombongan belajar. Ada sekolah yang memiliki kelas sempit, tetapi isinya 40 siswa. ”Masak mau masuk 100 persen?” tanya Windhu.

Kedua, hak wali murid dicabut. Persetujuan mereka agar anaknya mengikuti PTM sudah tidak dianggap lagi. Mereka juga tidak bisa menuntut ke sekolah untuk menggelar sekolah online lagi. Semua dipaksa ikut PTM. ”Padahal, ada anak yang autoimun. Tidak bisa divaksin. Jadi, gak bisa dong dipaksa PTM,” serunya.

Pembina Persakmi Jawa Timur Estiningtyas Nugraheni sepakat dengan Windhu. Bahkan, dia merasakan dilema yang dihadapi wali murid saat ini. ”Sebelum ke sini, saya ikut rapat komite sekolah,” ujarnyi.

Menurutnyi, PTM adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari lagi. Setelah membaca SKB empat menteri, dia mendapati bahwa pada diktum pertama sekolah wajib menaati protokol kesehatan (prokes).

Bagian dari protokol kesehatan adalah menjaga jarak. Jarak bangku siswa yang ditetapkan Kementerian Kesehatan adalah 1 meter. Berlaku kanan-kiri, depan-belakang. ”Dispendik harus menginventarisasi. Dengan jarak 1 meter itu, kelas muat berapa. Itulah 100 persennya,” ujar Esti.

Menurutnyi, itulah PR besar Pemkot Surabaya. Semua ruang kelas harus diukur. Baik negeri maupun swasta. Semua boleh menggelar PTM 100 persen dengan bangku renggang-renggang. Dengan cara itu, pemkot tidak akan melanggar SKB empat menteri.

Anggota Komisi A DPRD Surabaya Herlina Harsono Njoto tertarik dengan sudut pandang Esti. Namun, cara yang dilakukan itu juga menimbulkan masalah berikutnya. ”Di Surabaya itu ada satu kelas yang isinya 42 siswa. Ini juga harus dipikirkan jalan keluarnya,” kata politikus Demokrat itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: