SMA-SMK-SLB Wajib PTM

SMA-SMK-SLB Wajib PTM

PEMBELAJARAN tatap muka (PTM) SMA-SMK-SLB berlangsung sejak Senin (3/1) di Jawa Timur. Semua sekolah jenjang menengah atas itu diwajibkan PTM 100 persen. Tentu disesuaikan dengan capaian PPKM level wilayah masing-masing.

Itu termaktub dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri tentang PTM Terbatas pada situasi pandemi Covid-19 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 01 Tahun 2022. ”Tidak ada opsi pembelajaran jarak jauh (PJJ),” jelas Kepala Dinas Pendidikan Jatim Wahid Wahyudi kemarin (5/1).

Artinya, pelaksanaan PTM sudah tak seperti tahun sebelumnya. Yakni, opsional antara PTM dan pembelajaran daring. Setiap siswa bergantung pada izin orang tua. Jika tidak diizinkan, siswa boleh mengikuti PJJ.

Kini aturannya berbeda. PTM bersifat wajib. Tidak ada lagi opsi lain. Maka, yang tidak ikut PTM akan dianggap membolos. Ketatnya aturan tersebut ditujukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Sebab, pembelajaran daring selama pandemi memberikan dampak cukup serius. Terutama bagi tumbuh kembang siswa. Salah satunya yang paling genting adalah terjadinya learning loss alias kegagalan belajar.

Selain itu, tidak semua siswa memiliki fasilitas yang sama. Hal tersebut menyangkut ketersediaan internet dan gawai yang memadai. Yang menjadi faktor penting dalam pelaksanaan pembelajaran daring. ”Di Jawa Timur banyak daerah kepulauan, pegunungan, dan pedalaman yang belum terjangkau internet,” kata Wahid.

Menurutnya, PTM terbatas memang sudah semestinya dilaksanakan. Apalagi jika mengacu pada model pembelajaran SMK. Yakni, membutuhkan praktikum secara intens. Misalnya, beberapa jurusan yang butuh penerapan di lapangan.

Wakil Ketua Komisi E Hikmah Bafaqih juga menyetujui pelaksanaan PTM terbatas tersebut. Dia menganggap kebutuhan siswa SMA-SMK-SLB untuk tatap muka sangat mendesak. Terutama bagi kelas XII untuk persiapan studi lanjut maupun ke lapangan kerja.

”Kalau daring terus kasihan. Karena ada target kompetensi yang susah dicapai lewat daring,” jelas politikus PKB itu kemarin. Ada juga pertimbangan lain yang tak kalah gawat. Yakni, tentang tumbuh kembang siswa.

Yakni, terjadi perubahan perilaku pada mereka. Bahkan, itu tak sanggup diatasi para orang tua. Misalnya, rasa malas, ketergantungan terhadap gadget, dan perilaku kurang tertib.

Diperlukan waktu untuk memulihkan kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut. Tujuannya, tumbuh kembang mereka bisa lebih rileks. Dan sesuai kebutuhan psikis masing-masing. ”Jadi, perubahan perilaku ini yang tidak sederhana untuk direspons,” jelas Hikmah.

Tentu, pelaksanaan PTM juga tetap harus diimbangi dengan kedisiplinan penerapan prokes. Toh, kata Hikmah, pelajar SMA-SMK-SLB sudah bisa mandiri. Mereka mampu menjaga diri tanpa diperintah. Dengan begitu, tidak perlu khawatir berlebihan. Termasuk dengan adanya varian Omicron. ”Saat ini ekses negatif jauh lebih besar jika tidak PTM daripada khawatir Omicron,” ungkapnyi.

Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo berbeda pendapat. Ia menilai, ada beberapa poin yang perlu diperbaiki dan dikritik. Pertama, tentang orang tua yang tidak lagi memiliki opsi untuk mengizinkan anaknya.

”Itu gak boleh karena PTM bukan soal anak aja lho ya,” tutur Windhu. Sebab, anak berpotensi menjadi carrier virus. Baik dari sekolah ke rumah maupun sebaliknya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: