Kuburan Masal di Kompleks Delta Plaza

Kuburan Masal di Kompleks Delta Plaza

Dokter Soetomo yang memimpin RS Simpang memutuskan untuk pindah. Semua korban perang yang masih dirawat dipindahkan ke luar kota.

Surabaya sudah sangat tidak aman. Pasukan Inggris dan Gurkha sudah merangsek ke selatan. Tenaga medis terbatas. Mereka sudah kelelahan setelah berhari-hari bekerja tanpa henti. 

Teknis pemindahan pasien ada di tangan Dokter Soewandhie. Namanya kini diabadikan sebagai RSUD terbesar milik Pemkot Surabaya.

Peserta Melihat Surabaya dari Indonesia melintas di kawasan Ngagel, Surabaya.
(Foto: Roodebrug Soerabaia untuk Harian Disway)

Yang pertama diangkut adalah alat kesehatan dan peralatan medis. Semua diangkut dengan kendaraan sekenanya. Mulai truk sampai ambulans. Bahkan cikar pun dipakai untuk mengangkut semua peralatan itu menuju Sidoarjo, Jombang, Mojowarno, dan Malang.

Tahap kedua para korban mulai diungsikan. Kepala Djawatan Kereta Api Jawa Timur Sudji yang bekerja di Stasiun Gubeng membantu relokasi korban perang. 

Rangkaian gerbong pertama sudah disiapkan di Gubeng pada 13 November 1945 malam. Satu per satu pasien ditandu menuju Gubeng yang jaraknya lebih dari 1 kilometer. Evakuasi dilakukan ketika kota sudah gelap gulita, sekitar pukul 19.00.

Evakuasi baru tuntas pukul 02.00. Kloter pertama dikirim ke Malang. Sebenarnya kereta hanya beroperasi hingga Stasiun Wonokromo atas alasan keamanan. Serangan udara masih sangat membahayakan. Karena tidak ada opsi lain, mereka nekat berangkat.

Esok harinya, evakuasi diulang di jam yang sama. Hingga 20 November 1945, mereka berhasil mengungsikan lebih dari seribu pasien. 

Badan Oeroesan Mobil (BOM) juga ikut membantu evakuasi. Ady menilai peran BOM dan Djawatan Kereta Api begitu besar dalam membantu para pejuang. “Badan urusan mobil itu berasal dari dua badan bentukan Jepang,” ucap Ady.

Jepang menamainya Tobu Tikuyu Kyoku Jidhosa dan Doso Jimushoka. Dua badan itulah yang menjadi cikal bakal DAMRI yang memiliki 125 armada truk. Markasnya ada di Jalan Tunjungan Nomor 50.

Ady juga menceritakan kesaksian dr Wiliater Hutagalung yang saat itu masih berpangkat kolonel. Ada peristiwa yang tidak dapat hilang dari ingatannya.

Yakni ketika seorang pemuda dibawa masuk ke ruang bedah. Kedua kakinya hancur terlindas roda kereta api. Rupanya ia terlalu lelah sehingga tertidur di pinggir rel.

Ia masih terlelap ketika kereta melintas sehingga kedua kakinya putus seketika. Ia masih sadar ketika dibaringkan di tempat tidur. Sebelum tenaga medis menolongnya, ia berseru: “Merdeka! Hidup Indonesia!”

Pria itu kemudian mengembuskan napas terakhirnya karena kehabisan darah. (Salman Muhiddin)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: