Lakukan Bai Bai ke Sembilan Dewa
SATU per satu masyarakat Tionghoa berdatangan ke Kelenteng Pak Kik Bio-Hian Thian Siang Tee. Rumah ibadah itu berada di Jalan Jagalan, Surabaya. Ibadahnya mulai pukul 17.00 sampai 01.00. Malam tahun baru Imlek itu dikenal sebagai Chuxi. Alias malam pergantian tahun.
Di malam itu, umat Tionghoa pasti akan berdoa mengucap syukur atas berkat yang mereka dapatkan selama satu tahun yang akan berlalu. Juga, mereka memohon perlindungan dari para dewa untuk mendapat berkah selama setahun ke depan dan dijauhkan dari mara bahaya.
Di Kelenteng Pak Kik Bio, mereka berdoa memohon kepada Dewa Xuan Tian Shang Di. Tujuannya, selama setahun ke depan mereka dijauhkan dari mara bahaya atau sihir. Dewa itu merupakan dewa utama di rumah ibadah tersebut. Di sana juga ada delapan dewa lainnya. Total ada sembilan dewa.
Xuan Tian Shang Di adalah salah satu dewa Tao yang berlevel tinggi. Dewa itu juga paling banyak disebut di Tiongkok. Ia dipuja sebagai dewa yang sangat perkasa, mampu mengontrol elemen-elemen, dan melakukan sihir yang hebat.
Ia sering dipuja praktisi ilmu bela diri dan merupakan roh pelindung Hebei, Manchuria, dan Mongolia. Xuan Tian Shang Di digambarkan sebagai seorang kesatria yang mengenakan jubah kekaisaran (pakaian perang keemasan).
Tangan kirinya membentuk mudra tiga gunung. Menyerupai mudra Kwan Im dan tangan kanannya memegang sebilah pedang. Konon merupakan pedang milik Lu Dong Bin yang merupakan satu di antara delapan dewa.
Biasanya dewa tersebut duduk di takhta. Dewa itu juga tidak mengenakan alas kaki. Kaki kanannya menginjak seekor ular. Kaki kiri menginjak kura-kura. Wajahnya merah, berjanggut hitam panjang, dan matanya membuka lebar. Terlihat garang.
Ketua Kelenteng Pak Kik Bio-Hian Thian Siang Tee Nanang Wirjanto menjelaskan, dalam melakukan ibadah di kelenteng itu, umat Tionghoa kali pertama melakukan ritual penghormatan di depan kelenteng.
Setelah itu, barulah berdoa kepada Dewa Xuan Tian Shang Di. Juga, delapan dewa lainnya. ”Mereka melakukan bai bai,” katanya Senin (31/1) malam. Setiap Chuxi, ratusan masyarakat pasti akan datang ke kelenteng itu. Mereka datang bersama keluarganya.
Namun, karena masih pandemi, sedikit warga Tionghoa yang datang berdoa ke sana. Kapasitasnya dibatasi. Padahal, dulu tempat itu dipenuhi oleh umat yang akan beribadah. Ratusan orang berkumpul di rumah ibadah itu. Walau untuk beribadah, tetap harus bergantian masuk.
”Kalau dulu mecapai 500 orang yang datang. Karena masih pandemi Covid-19, jadi kami tidak bisa terlalu banyak umat. Ibadah mereka tidak dibatasi. Kalau tadi, hanya sekitar 100 orang yang datang,” tambahnya. (Michael Fredy Yacob)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: