Siapa Berhak Kelola Harta Karun Lapindo?

Siapa Berhak Kelola Harta Karun Lapindo?

KINI semua sudah tahu bahwa ada harta karun yang terkubur di Lumpur Lapindo. Kementerian ESDM sudah mengumumkannya secara resmi dua pekan lalu. Potensi terbesarnya ada di kandungan lithium (li). Masalahnya tanah itu milik siapa?

Secara administrasi, PT Minarak Lapindo lah yang mengganti tanah warga. Namun uangnya berasal dari dana talangan pemerintah. Yang mulanya dicairkan sebanyak Rp 733 miliar membengkak jadi Rp 2,233 triliun. Tagihannya sudah lebih dari tiga kali lipat.

Anggaran cair sejak Juli 2015. Lapindo harus melunasinya selama 4 tahun dengan suku bunga 4,8 persen. Jika sudah lebih dari Juli 2019, muncul denda sebesar 1/1.000 dari nilai pinjaman. Denda itulah yang membuat tagihan membengkak.

Lapindo menjaminkan aset tanah yang terendam lumpur untuk dapat pinjaman itu. Mereka baru mengangsur satu kali dengan nominal Rp 5 miliar.

“Problemnya ya itu. Status tanah,” kata Peneliti Senior Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim ITS Amien Widodo. Dosen teknik Geofisika itu sebenarnya sudah tahu ada kandungan lithium sejak penelitian 2016.

Saat itu ia meneliti kandungan air yang terkandung dalam lumpur. Potensi lithium sudah diketahui, namun penelitian lanjutan tentang hal itu tidak dibuka besar-besaran ke publik. Badan Geologi Kementerian ESDM membuat penelitian lanjutan pada 2020. Mereka mengambil sampel tanah di berbagai titik. Jarak masing-masing galian mencapai 200 meter. Selain kandungan lithium, mereka juga juga mendeteksi kandungan strontium (Sr).

Peneliti juga menemukan kandungan Logam Tanah Jarang (LTJ)  berjenis yttrium (Y), cerium (Ce). Namun jumlahnya masih kalah banyak dengan lithium tersebut.

Proses memanen kandungan berharga itu lebih mudah. Tidak perlu ditambang. Lumpur sudah keluar dengan sendirinya: 100 ribu meter kubik per hari. Smelter-nya juga lebih simpel. “Kalau smelter biasanya perlu menghancurkan bebatuan hingga jadi lembut. Nah ini bentuknya sudah lumpur,” lanjut Amien.

Menurutnya, pemerintah perlu cepat mengambil keputusan. Pasar lithium dunia sedang tumbuh pesat. Semua negara berlomba mencari energi ramah lingkungan pengganti bahan bakar fosil.

Lithium dibutuhkan untuk baterai smartphone hingga industri mobil listrik. Proyeksi pasar lithium global diproyeksikan mencapai USD 8,24 miliar atau setara Rp 1.185 triliun hingga 2027.

Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH SDA MUI) Jawa Timur Prof Suparto Wijoyo pernah mengusulkan agar saham Lapindo dibagi ke warga terdampak. Ide itu ia sampaikan ke media sejak 2007. “Dan sekarang masih bisa diterapkan karena belum semuanya dapat ganti rugi,” ujar pakar hukum lingkungan Universitas Airlangga itu.

Ia melihat warga korban lumpur menderita karena harta benda yang seharusnya bisa digunakan dalam jangka panjang  sudah terendam lumpur. Sedangkan Lapindo masih punya keuntungan usaha lain dalam waktu yang panjang. Dan potensi usaha itu mulai terlihat sekarang.

Keuntungan dari harta karun itu setidaknya bisa dibagi pada korban lumpur dengan menjadikan mereka sebagai pemegang saham. Menurutnya solusi ini paling diambil untuk pemilik lahan yang belum dapat ganti rugi. Misalnya pabrik-pabrik yang terkena dampak lumpur. “Kalau warga yang sudah menerima ya semua kepemilikannya beralih ke Lapindo. Tapi mereka bisa dapat CSR nantinya,” lanjutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: