Sehu Tok Su Kwie Belum Wariskan Ilmu
Wayang potehi di Kelenteng Hong San Siong sudah ada sejak awal abad ke-20. Banyak catatan tentang hal itu. Toni Harsono menyimpan bukti-buktinya.
RUANGAN kecil di ujung utara Museum Potehi Gudo itu lebih terasa misterius. Pintunya besi. Hitam. Kukuh. Gemboknya besar.
Toni Harsono, Ketua Kelenteng Hong San Kiong, Gudo, Jombang, tampak seperti susah payah membukanya. Terasa betul bahwa pintu itu memang anteb. Berat.
Dan, olala… Itu bukan satu-satunya pintu untuk masuk ke ruangan. Di balik pintu hitam itu masih ada dua pintu lagi. Pintu harmonika besi. Warnanya merah. Setiap pintu juga dilengkapi gembok yang kukuh. Toni, lelaki asli Gudo itu, harus berkali-kali merogoh saku celana untuk mengambil anak kunci yang tepat.
Begitu seluruh pintu terbuka, aroma khas itu kembali menyeruak. Aroma apak. Lembap. Sekali lagi, seperti bau masa silam.
’’Maaf, ini memang belum saya beri AC,’’ kata Toni. Keringat sudah bermunculan di dahi dan lehernya. Sebagian kausnya yang berwarna hitam tampak basah.
Di ruang yang sempit dan pengap itu, tampaklah salah satu harta milik Toni. Milik seluruh pencinta kesenian wayang potehi, sejatinya. Milik orang-orang yang mau bergiat untuk terus melestarikan wayang boneka kain tersebut. Milik secara tidak langsung.
’’Itu peninggalan kakek saya,’’ ujar pria kelahiran 6 Juli 1969 tersebut. Tangannya menunjuk sebentuk panggung wayang potehi. Panggung itu dari kayu yang penuh ukiran elok. Motifnya floral. Sulur-suluran.
Panggung kecil itu digantungkan tinggi pada tembok berkeramik merah. Terasa kuno. Kayunya sudah terlihat telanjang. Sarang laba-laba di sisi kiri panggung itu menambah kesan lawas itu.
Bisa diperkirakan bahwa panggung itu dulu berwarna-warni. Setidaknya, dari replika yang juga ada di Museum Potehi Gudo, panggung itu dulu berwarna merah, kuning, dan biru. Di bagian tengah ada aksara Tiongkok (hanzi). Bunyinya: Fu He An. Nama grup wayang potehi milik kakek Toni.
’’Kalau 100 tahun saja, lebih,’’ ucap Toni memperkirakan umur panggung itu. ’’Wong kakek saya itu datang ke sini sekitar 1920-an, kok,’’ lanjutnya.
Ya, kakek Toni bernama Tok Su Kwie. Ia hijrah dari Fujian, wilayah di tenggara Tiongkok, yang berbatasan dengan Selat Taiwan. Fujian disebut-sebut sebagai tempat lahirnya wayang potehi, yang di dalam bahasa mandarin disebut sebagai budai xi (布袋戲). Arti harfiahnya: drama/pertunjukan kantung.
Catatan klasik Tiongkok, misalnya Wulin Jiushi yang ditulis pada dinasti Song (1127-1279), menyebut bahwa wayang potehi muncul di kota Quanzhou (泉州), Fujian. ’’Kakek saya berasal dari Quanzhou,’’ tutur Toni.
Tok Su Kwie adalah seorang sehu (dalang) wayang potehi. Ia hijrah sambil membawa peralatan kesenian khas itu. Termasuk panggung dan sejumlah boneka wayangnya. ’’Jadi, panggung itu asli dari Tiongkok. Ya kayunya, ya ukirannya,’’ ujarnya.
Tok Su Kwie, imigran Hokkian itu, ternyata tidak menetap di daerah pesisir. Yang lebih dekat dengan pelabuhan. Yang kerap jadi tempat hijrah para imigran. Tok Su Kwie justru masuk ke ’’pedalaman’’. Ke Gudo. Di selatan Jombang. Yang sudah mepet dengan Kediri.
PANGGUNG ASLI milik Tok Su Kwie yang disimpan di dalam Museum Potehi Gudo. Harian Disway (kiri) berbincang-bincang dengan Widodo, salah seorang dalang, di bawah panggung.
(Foto: Boy Slamet-Harian Disway)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: