Bukan Syirik, Bukan Klenik

Bukan Syirik, Bukan Klenik

Tak ingin ada lagi tindakan intoleransi, Cangkru’an Ngaji Embongan bergerak. Mengadakan Ngaji Budaya 1000 Sajen dan Dupa di Balai Kota Malang.

Ada latar belakang kuat mengapa pada 22 Januari, Gus Hisa Al-Ayuby mengajak komunitas lintas umat beragama, lintas iman, dan kebudayaan yang terhimpun dalam Cangkru’an Ngaji Embongan, berkumpul di halaman Balai Kota Malang.

Sebelumnya, ada yang memicu. Dari tindakan intoleransi oleh tersangka penendang sesaji di Gunung, Semeru, Lumajang yang viral.

Kejadian itu pertama kali bergulir dalam media sosial pada 8 Januari lalu. Ada pria berpeci dan bergamis. Ia menendang sesaji sembari berkoar bahwa hal itu mengundang murka Allah.

Sebaliknya, murka Allah seolah justru datang menghampirinya. Pelaku penendang sesaji yang diketahui alumni PP Ngruki, Solo, itu ditangkap polisi, serta dikecam banyak orang, utamanya kalangan agamawan, penggiat kebudayaan dan sebagainya.

Hari itu, dupa dan sesaji dibawa oleh banyak pihak ke tempat acara. Salah seorang yang hadir ada Yongki Irawan, budayawan asal Malang. Ia juga membawa dupa dan sesaji. Diletakkan di depan pintu masuk Tugu Malang.

Masyarakat yang hadir dalam acara ”Ngaji Budaya 1000 Sajen dan Dupa” datang dari berbagai komunitas lintas umat beragama, lintas iman, dan kebudayaan. Mereka kompak berdoa agar Indonesia tak lagi ada tindakan intoleransi.

Dupa-dupa itu menancap di atas tungku. Ada bunga-bungaan di dalam takir daun pisang. ”Dupa dan sesaji adalah wujud sinergitas antara manusia, leluhur, mahluk hidup lainnya dan Tuhan. Demikian kami memaknainya,” ujarnya.

Melihat respons masyarakat dalam acara tersebut, budayawan 70 tahun itu justru menilai tindakan intoleransi yang terjadi di Lumajang punya hikmah. Semua pihak seolah berterima kasih dengan kasus penendangan sesaji di Lumajang yang viral itu.

”Sebab dari peristiwa intoleransi itulah kami akhirnya berkumpul. Membuat kegiatan untuk menyadarkan ketidaktahuan banyak orang tentang makna sesaji dan dupa,” ungkap Gus Hisa Al-Ayubi.

Dupa dan sesaji tak dapat begitu saja dianggap sebagai syirik, berbau klenik, atau semacamnya. Penggunaannya adalah bukti kearifan lokal masyarakat Nusantara.

Untuk menghormati alam semesta, sesama mahluk hidup, dan utamanya kepada Tuhan. Bentuk persembahannya bisa berupa wewangian dan makanan.

Wewangian hanya sarana yang membuat tentram pikiran sehingga fokus berdoa kepada Tuhan. Sesaji berupa makanan adalah sarana penghormatan kepada leluhur dan mahluk lainnya.

”Secara simbolik, kita yang masih hidup senantiasa menyuguhkan sesuatu kepada leluhur yang sudah wafat. Sebagai tanda bakti,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: