Tulisan Tangan Penguak Masa Silam
’’Wayang potehi pentas memakai bahasa apa?” tanya Harian Disway kepada Toni Harsono di ruang samping Kelenteng Hong San Kiong, Gudo, 22 Januari. ’’Bahasa Indonesia,’’ jawabnya. Tetapi, bahasa Indonesia yang digunakan oleh para sehu (dalang) memang tetap terasa beda.
’’AKU bingung dengan wasiat aku punya papa. Aku diberi warisan itu binatang kambing 17 ekor. Tapi, aku punya koko merasa itu pembagian tidak adil. Apa yang aku harus lakukan agar tidak ada baku hantam di ini punya keluarga?’’
Kalimat itu meluncur dari bibir Widodo Santoso, sehu asal Blitar, saat main bersama kelompok Fu He An di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jombang, 26 Januari lalu.
Bahasa itu mungkin terasa aneh. Kata-katanya adalah kosakata bahasa Indonesia. Tetapi, susunan katanya berantakan betul. Kacau. Tidak sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
Tetapi, itulah ciri khas wayang potehi. Bahasanya, sedikit banyak, masih memakai langgam bahasa Melayu pasar alias Melayu Rendah. Bahasa ini dulu kerap dipakai kaum Tionghoa dalam pergaulan sehari-hari. Terutama pada awal abad ke-20. Saat para imigran dari Tiongkok sudah banyak bermunculan. Terutama di kota-kota pesisir negeri ini.
Ketika berbicara dengan kalangannya sendiri, warga Tionghoa itu memakai bahasa mereka sendiri. Dengan dialek sendiri-sendiri pula. Orang-orang dari Fujian, misalnya, akan memakai bahasa Hokkian. Nah, ketika mereka berbincang-bincang dengan warga lain, dialek Melayu rendah itulah yang dipakai.
Bahasa itu juga tampil pada sejumlah karya sastra yang terbit pada 1920-an. Penulisnya adalah orang-orang Tionghoa. Salah satunya, Kwee Tek Hoay yang menulis Roema Sekola jang Saja Impiken dan Boenga Roos dari Tjikembang.
Karena disebut sebagai Melayu rendah, tentu bahasa itu tidak digolongkan sebagai bahasa yang nyastra. Bisa jadi, digolongkan sebagai bahasa yang tidak ’’adiluhung’’. Meskipun, bahasa Melayu rendah sejatinya juga termasuk produk kesusastraan. Baik lisan maupun tulisan.
Bahasa Melayu rendah pun makin terpinggirkan. Lama kelamaan, ia menjadi terstigma bahwa yang menggunakannya adalah engkong-engkong kolot yang sangat Tionghoa. Itu tampak pula pada berbagai film Indonesia hingga dekade 1980-an. Termasuk lewat Film Boneka Si Unyil. Di situ ada tokoh Engkong. Ialah kakek seorang cewek, kawan Si Unyil, bernama Meilan. Si Engkong inilah yang memakai logat khas. Logat Melayu pasar atau Melayu rendah.
Di dalam pentas wayang potehi, peralihan generasi dari Tok Su Kwie menuju Tok Hong Kie juga menandai kian menguatnya pemakaian bahasa Melayu pasar itu.
Buktinya masih tersimpan di Museum Potehi Gudo. ’’Papa saya menulis semuanya. Ini siu lam pek (suluk, Red) yang berbahasa Hokkian. Ini, ya, semacam ringkasan cerita yang biasa dimainkan,’’ ucap Toni. Tangannya menggenggam buku usang berisi tulisan tangan dengan tinta biru. Tulisan Tok Hong Kie. Selain siu lam pek yang berbahasa Hokkian itu, ringkasan cerita menggunakan bahasa Melayu pasar. Bahasa yang biasa dipakai oleh orang-orang Tionghoa dalam bersosialisasi sekitar seabad silam.
BUKU LAWAS yang menyimpan tulisan tangan Tok Hong Kie, ayah Toni Harsono.
(Foto: BOY SLAMET-HARIAN DISWAY)
Warisan itu menunjukkan betapa cintanya Tok Hong Kie pada kesenian wayang potehi. Ia memang tidak pernah mengajari Toni secara langsung untuk mendalang. Bahkan, Tok Hong Kie melarang Toni menjadi dalang. Alasannya, seperti disebut pada edisi kemarin, hidup dalang wayang potehi itu seperti bonekanya. Gagah di atas panggung, tetapi tergeletak begitu saja seusai pentas.
Berjibun catatan yang ditinggalkan Tok Hong Kie itulah yang akhirnya menjadi salah satu jalan dan wujud cinta Toni pada kesenian wayang potehi. Toni tidak hanya secara rutin menampilkan aksi kelompok Fu He An. Tidak juga secara total menghidupkan pelaku kesenian tersebut. Tetapi, juga dengan merawat berbagai peninggalan sang ayah.
Bagi Toni, wayang potehi punya berbagai perlambang yang elok bagi kehidupan. Spirit kesenian itu juga diabadikan dalam dua tulisan hanzi berbahasa Mandarin yang selalu terpasang di sisi panggung. Yi kou shuo chu qian gu shi (一口說出千古事). Shi zhi nong cheng bai wan bing (十指弄成百萬兵). Satu mulut mengucapkan ribuan cerita, sepuluh jari menghasilkan jutaan tentara… (Doan Widhiandono)
Edisi sebelumnya: Generasi Kedua yang Bersahaja
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: