Sakit Saat Pertunjukan Potehi Berakhir
Tumbuh di keluarga sehu (dalang) wayang potehi, hidup di sekitar kelenteng, tentu Toni Harsono sudah akrab dengan kesenian yang lahir besar di Fujian, Tiongkok, itu. Sejak kecil, ia akrab dengan pertunjukan itu, dengan cerita-ceritanya, dengan musik-musiknya.
’’SAYA sih ndak pernah belajar wayang potehi secara khusus. Ya tahu saja. Paling cuma main-main bonekanya,’’ ucap Toni dalam sebuah perbincangan di Museum Potehi Gudo, 22 Januari lalu.
Karena itu, ia pun tahu alur cerita wayang potehi. Terutama kisah kepahlawanan Sie Jin Kwie (Xe Rengui/ 薛仁贵), seorang jenderal yang berpengaruh pada zaman Dinasti Tang (618-907 Masehi). Ia adalah orang biasa yang lantas meniti jalan pedang. Menjadi prajurit. Meniti karir hingga menjadi jenderal.
Kisah Sie Jin Kwie itulah yang lantas menjadi sajian utama pertunjukan wayang potehi. Ia menjadi legenda. Kisahnya bercampur dengan mistifikasi sehingga sangat cocok menjadi sebuah pertunjukan wayang yang penuh pesan-pesan moral.
Toni kecil pun sangat menyukai pertunjukan itu. Sangat menggilai, malah.
Saban hari, ia menonton pertunjukan itu. Mulai awal sampai akhir. ’’Dan pertunjukan wayang potehi itu kan bisa sampai lama. Berbulan-bulan. Nyambung terus. Kalau berakhir, sudah nggak sabar. Besoknya tampil seperti apa, bagaimana ceritanya,’’ kata pedagang emas di Pare, Kabupaten Kediri, tersebut.
Sebagai anak dalang, Toni pasti mendapat ’’tempat khusus’’. Bisa jadi, ia menonton di tempat penonton. Tetapi, pasti ia juga tidak dilarang melihat dari belakang, berbaur bersama dji dju (asisten dalang) atau para pemusik lainnya.
Esoknya, ketika lanjutan sebuah kisah dipentaskan, Toni sudah berada di deretan bangku penonton. Begitu terus.
Kecintaan pada wayang potehi itu rupanya sangat merasuk di dalam jiwa Toni. Sampai-sampai akhirnya ia justru memutuskan untuk lari dari wayang potehi. Mencoba melupakan pertunjukan itu.
Lho kok bisa?
’’Memang, wong setiap habis pertunjukan, atau saat satu rangkaian kisah mau rampung, saya sakit,’’ kata alumnus Institut Teknologi Nasional (ITN), Malang tersebut.
Toni Harsono (kiri) bersama ayah, ibu, kakak, dan adiknya.
(Toni Harsono untuk Harian Disway)
Saat Toni remaja, wayang potehi memang menjadi bagian dari kegembiraan hidupnya. Menonton wayang potehi benar-benar menjadi sebuah candu. Membuat ketagihan. Candu yang positif. ’’Jadi, kalau mau selesai itu, rasanya getun (nelangsa, Red) begitu. Jadinya sakit,’’ cerita Toni.
Lama kelamaan, Toni menghindari pertunjukan wayang potehi itu. Menjelang berakhir, ia menyelinap diam-diam. Tidak menonton lagi. Itu agar ia tidak terlalu terikat dengan show yang memesonanya tersebut.
Akhirnya, di pengujung masa remaja, Toni pun menjadi abai terhadap wayang potehi. Bukan karena benci, tetapi karena tak sanggup berpisah…
Yang Toni mungkin belum sadari adalah, suatu saat nanti ia justru tidak bisa lepas dari wayang potehi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: