Asesmen Situasi Surabaya Masuk Level 3

Asesmen Situasi Surabaya Masuk Level 3

DKI Jakarta sudah mulai melewati puncak penularan Omicron kemarin (14/2). Jumlah kasus dan bed occupancy ratio (BOR) rumah sakit turun. Sementara itu, wilayah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih menunjukkan peningkatan kasus.

Ledakan kasus Omicron di Jakarta memang dimulai awal Januari. Dua pekan lebih awal ketimbang rata-rata daerah lain di Jawa-Bali. Puncak penularan terjadi pada 6 Februari. Hari itu penambahan kasusnya mencapai 15.825 jiwa.

Setelah itu angkanya berangsur turun. Minggu (13/2) jumlah penambahan kasus turun jadi 10.817 jiwa. ”Tren ibu kota beberapa hari ini turun. Konsistensinya harus dijaga,” ujar Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Windhu Purnomo kemarin (14/2).

Potensi kenaikan bisa terjadi apabila masyarakat DKI Jakarta abai terhadap protokol kesehatan. Sebaliknya, jika masyarakat tetap disiplin, maka DKI Jakarta bisa lolos dari gelombang Omicron lebih awal.

Berdasarkan pengalaman dari Afrika Selatan, Inggris, Amerika Serikat, dan India, Omicron memang menular dengan cepat. Namun durasi gelombang serangannya hanya berkisar 30-60 hari. Setelah banyak orang tertular, maka kasus akan melandai dengan sendirinya. Dengan begitu Jakarta bisa lebih aman di awal Maret nanti.

Sementara di Jatim, kasus penularannya masih terus meningkat. Pada 10 Februari jumlah penambahan kasus mencapai 4.053 kasus. Sedangkan pada 13 Februari angkanya bertambah jadi 5.377 kasus. Sedangkan total pasien yang dirawat mencapai 11.609.

Surabaya menyumbang kasus terbanyak di Jatim. Hingga pukul 15.00 kemarin, penambahan kasus harian mencapai 1.173. Jumlahnya setara seperempat penambahan kasus di Jatim.

Surabaya sudah masuk asesmen situasi level 3 kemarin. Angka positivity rate naik drastis menjadi 17,91 persen. Artinya dari 100 swab PCR, angka positifnya nyaris 18 orang. Padahal di awal Januari angkanya selalu di bawah 1 persen. Sedangkan angka ideal yang ditetapkan organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah di bawah 5 persen.

BOR RS juga sudah melampaui 20 persen. Tepatnya 23,86 persen. Meski begitu, ruang isolasi terpadu (isoter) yang disediakan Pemkot Surabaya masih banyak yang belum terisi. Masyarakat lebih memilih isolasi mandiri di rumah.

INSTALASI GAWAT DARURAT di Asrama Haji, Suklilo, Surabaya, juga sudah disiapkan sebagai tempat isolasi terpadu di Surabaya. (Foto: Julian Romadhon-Harian Disway)

Dari tiga isoter yang disediakan, hanya Hotel Asrama Haji Sukolilo yang digunakan. Lapangan Tembak dan Gelora Bung Tomo masih kosong.

Galih Adi, salah satu pasien Asrama Haji, dirawat di gedung Sofa yang baru direnovasi pekan lalu. Ia menceritakan bahwa jumlah ruangan yang belum dipakai masih banyak. “Rata-rata tiga hari sudah sembuh. Teman sekamar gonta-ganti,” katanya kemarin.

Ia dirawat sejak Rabu sore pekan lalu. Ada gejala demam, batuk dan pilek. Setiap hari nakes melakukan swab PCR ke seluruh pasien. Namun hasil yang didapat masih positif hingga kemarin.

Pasien mendapatkan obat Decivir untuk mengatasi infeksi virus. Obat tersebut merupakan obat antiviral neuraminidase inhibitor dengan kandungan Oseltamivir. Obat bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim neuraminidase pada virus. Sehingga, replikasi dan pengikatan virus dengan sel inang bisa dicegah. “Lumayan sih harga di labelnya Rp 185 ribu,” ujar Alumnus Ekonomi Unair itu.

Sayangnya banyak yang tak mau dirawat di Asrama Haji. Sebab, sebanyak 86 pasien Omicron di Surabaya terkonfirmasi tanpa gejala. Sehingga mereka memilih isoman di rumah. Pemkot Surabaya berupaya mengajak mereka memanfaatkan isoter tersebut. Namun upaya tersebut sulit terwujud.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: