Ngobrol dengan Sutradara Film Indie Invisible Hopes

Ngobrol dengan Sutradara Film Indie Invisible Hopes

Setiap tahun, sekitar 200 sampai 300 anak lahir di dalam penjara. Lamtiar Simorangkir mengangkat kisah mereka dalam The Invisible Hope. 

GAMBARAN kondisi anak-anak yang lahir di penjara dalam film Invisible Hope garapan Lamtiar Simorangkir. 

 

RUANG sepetak itu berisi 15 narapidana (napi) perempuan. Beberapa dari mereka dalam kondisi hamil. Sebagian lagi bahkan sudah melahirkan. Rata-rata usia anaknya masih bayi. Karena tidak mungkin dipisahkan dengan sang ibu, anak-anak mungil itu tinggal di ruangan yang sama. Bisa dibayangkan, betapa penat dan sesaknya ruang di balik jeruji itu.

Tak ayal, karena tak nyaman, bayi-bayi itu tak henti merengek. Suara tangisan mereka memenuhi seluruh ruangan. Bersahutan. Sebagai informasi, bayi-bayi itu lahir tanpa bantuan dokter. Proses persalinan diurus napi-napi itu sendiri. Tentu, dengan peralatan dan pengetahuan ala kadarnya.

Gambaran itu ada dalam film semi-dokumenter Invisible Hopes karya Lamtiar Simorangkir. Film itu sebenarnya sudah ditayangkan di bioskop pada Mei 2021 lalu. Nah, pada November lalu, Invisible Hopes meraih Piala Citra di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2021. Untuk kategori Dokumentasi Panjang Terbaik.

Alhasil, banyak permintaan untuk menggelar skrining terbatas dari komunitas film dari berbagai daerah. Alhasil, Tiar—sapaam Lamtiar Simorangkir—kembali membawa hasil karya dia tersebut ’’jalan-jalan’’. Ke Medan, Makassar, dan Surabaya. Minggu lalu, moviegoers Surabaya bisa menyaksikannya di CGV Marvell City. Pemutaran film dilanjutkan dengan diskusi.

Salah satu yang bikin penonton penasaran adalah soal perizinan. Bagaimana Tiar bisa mendapatkan izin untuk membikin film di penjara? ’’Ya. Awalnya memang sulit mendapat izin. Tapi saya mencoba keliling menemui orang-orang yang bisa membantu. Agar dapat mengerjakan film itu,’’ ungkap Tiar.

 

LAMTIAR SIMORANGKIR bersama peserta skrining Invisible Hope di CGV Marvell City Surabaya pekan lalu (13/2). (Foto: Rangga-Harian Disway)

Kondisi Bikin Miris

Tiar lantas mengenang awal pembuatan film berdurasi 100 menit tersebut. Semua dimulai pada 2017. Ketika dia menggeber skrining film dia sebelumnya. Salah seorang rekan dia tiba-tiba bertanya, ’’Apakah kamu tahu, ada banyak anak yang lahir di dalam penjara?’’

Terus terang, Tiar baru mendengar soal itu. Setelah menelusuri internet, belum ada film yang mengangkat isu tersebut. Sebagai sineas, jiwanya tergelitik. Dia merasa perlu mengangkat isu anak-anak dalam tahanan sebagai film. ’’Saya cuma terbayang satu. Masa kecil saya bisa bermain. Tapi anak-anak ini ada di dalam jeruji besi,’’ tutur dia.

Tiar mencari data dan menemukan kota dengan jumlah tahanan perempuan terbanyak di Indonesia. Yakni Medan. Tapi, kalau ke Medan, perlu biaya besar. Lantas, dia memilih Jakarta dan Bandung sebagai lokasi pengambilan gambar. Salah satunya di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur.

’’Untuk kepentingan story, saya membuat seolah-olah sebagai film naratif. Sehingga saya perlu memilih tokoh yang bisa membawa cerita dari awal sampai akhir,’’ jelas dia.

Dia lantas berangkat dari riset Kriminologi UI. Ada sekitar 2 persen perempuan dalam kondisi hamil yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Artinya, ada 14.500 napi perempuan. Bila ditelisik lagi, per tahun, sekitar 200 sampai 300 anak lahir di lapas. Dia berpikir, kalau ada anak sebanyak itu yang lahir di dalam penjara, siapa yang bertanggung jawab?

Sumber: