Ngobrol dengan Sutradara Film Indie Invisible Hopes

Ngobrol dengan Sutradara Film Indie Invisible Hopes

Selama riset di rutan, Tiar menemukan momen mengharukan. Yakni ketika dia bermain dengan salah seorang balitan nan lucu dan cerdas. Tiba-tiba, lonceng berbunyi. Tanda tahanan harus segera masuk sel. Anak itu bergegas pergi dan melempar cium jauh kepada Tiar. ’’Mamanya ketawa, saya justru menangis. Artinya, anak itu menganggap dirinya sebagai napi,’’ tutur Tiar.

Pemandangan itu yang membuat Tiar makin bersemangat mengangkat kisah mereka. Hingga suatu saat, dia dipertemukan dengan komisioner Ombudsman RI. Dia mendapatkan izin untuk membuat film dokumenter.

Tiar sadar bahwa isu itu sensitif. Dia juga memikirkan keselamatan dirinya. ’’Tapi, sudah (pokoknya, Red) jalan saja dulu. Pertama yang mereka katakan ke saya, ’Kakak siapa? Kakak mata-mata polisi?’ Saya kasih tahu, saya hanya ingin memfilmkan anak-anak yang lahir di penjara,’’ tuturnya.

Saat syuting, dia kaget bahwa kondisi di lapas dan rutan begitu runyam. Masalahnya lebih kompleks. Tiar, yang awalnya hanya diberi izin dua bulan, harus minta tambahan waktu. Untungnya bisa. Perpanjangan izin berlaku hingga enam bulan. Sehingga, ia malah bisa membuat film dokumenter panjang.

Tiar mengisahkan, anak-anak di penjara tak ada bedanya dengan anak telantar di jalanan. Mereka tidak mendapatkan anggaran dari negara. Bahkan untuk makan saja tidak ada. Pada 2018, per napi mendapatkan platform Rp 13 ribu sekali makan. Itu harus dibagi dengan memberi makan anak-anak. Sekarang naik jadi Rp 20 ribu. Tapi, secara teori, tetap saja tidak cukup.

Buka Donasi

Setelah membuat film, Tiar jadi punya ikatan kuat dengan anak-anak di rutan. Dia tergerak melakukan sesuatu yang nyata. Salah satunya, membikin program untuk donasi di lapas dan rutan. Dia hitung, sedikitnya kebutuhan anak-anak dan bayi di penjara mencapai Rp 3 juta. ’’Kalau dari negara belum ada, saya mikir, kenapa nggak dari bawah dulu saja berbuat,’’ tutur dia.

Tiar berharap, Invisible Hopes, dapat mendorong perbaikan regulasi lapas dan rutan di Indonesia. Hal itu penting, terutama untuk narapidana ibu hamil dan anak bayi yang tinggal di bui. Beberapa dari mereka ada yang akhirnya diadopsi oleh keluarga napi perempuan. Namun, tak sedikit yang masih tinggal bersama ibu mereka di penjara.

Peserta diskusi kemudian kembali mengingat salah satu adegan film. ’’Bunda, buka penjaranya! Bunda, buka penjaranya,’’ terdengar teriakan mereka. Menirukan rengekan bunda-bunda mereka memanggil para sipir. Mereka menaiki jeruji-jeruji penjara, menggoyang gembok yang menempel di pintu besi, bermain-main dengan apa saja.

Sebagian dari mereka mengubah hasrat terdalam ibu mereka menjadi permainan peran yang mengasyikkan. Yakni ketika mereka dibebaskan dari penjara. ’’Hore, aku bebas, aku bebas, aku bebas,’’ seru salah satu anak sambil meloncat kecil kegirangan. Tiar tak sampai hati melihat adegan-adegan itu. Dia berharap, masyarakat juga terketuk hatinya, dan mau membantu.

’’Saya harus menolong mereka,’’ dia bertekat. ’’Tidak sekadar dengan donasi. Tapi juga harus ada sistem yang melindungi mereka. Bagi saya, jika belum ada sesuatu yang membuat kondisi mereka lebih baik, saya enggak akan diam. Salah satunya, ya dengan mengadakan nonton bareng seperti ini,’’ pungkas dia. (Retna Christa-Rangga Prasetya)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: