Kepala Potehi Matang di Tangan Toni

Kepala Potehi Matang di Tangan Toni

Para perajin kepala wayang potehi memang bisa menghasilkan bentuk-bentuk yang diinginkan Toni Harsono. Namun, karya mereka tetap butuh sentuhan akhir. Dan lagi-lagi, ada campur tangan Toni di situ.

TONI Harsono, Moch. Budiono, dan Mulyono masih terus berbincang siang itu. Sesekali, mereka diam sambil menekuni pekerjaan masing-masing. Memahat dan membentuk kayu balok-balok kayu itu menjadi kepala-kepala. Toni tak terlampau memperhatikan. Rupanya, ia memang sudah hafal dan percaya dengan kemampuan Budiono dan Mulyono. Sudah lama ia menjadi ’’konsumen’’ Mulyono dan Budiono.

Posisi Toni di dalam kerajinan wayang potehi ini memang cukup unik. Ia adalah inisiator pelestarian wayang potehi. Pria asli Gudo, Jombang, itu ingin wayang potehi tidak hanya lestari, tetapi tetap sesuai dengan bentuk-bentuk asli yang diketahuinya sejak kecil. Toni juga berperan sebagai talent scout. Seorang pencari bakat.

Toni memang berkeliling mencari orang-orang yang punya kemampuan mengubah balok kayu menjadi kepala yang ’’hidup’’. Punya karakter. Dan ia nemu beberapa nama. Selain Budiono dan Mulyono, ada satu lagi yang dipercaya oleh Toni. Namanya Supangat. Tinggal di Mojoagung, kecamatan yang terletak di timur Gudo. ’’Itu juga hebat. Garapannya halus,’’ ucap Toni.

Setelah menemukan perajin yang tepat, Toni lantas memberi order. Sekaligus membeli hasil karyanya.

Nah, lama kelamaan, para perajin itu terus menjadi penyuplai kepala boneka untuk Toni. ’’Pokoknya, setiap kali mereka mengirim, pasti saya beli,’’ ucap pedagang emas di Pare, Kediri, tersebut.

Itu diamini oleh Budiono. Bahwa Toni adalah orang yang konsekuen. ’’Semua hasil dari perajin pasti dibeli,’’ kata pria 45 tahun tersebut. Hasilnya jelas. Budi dan para perajin mendapat penghasilan yang kontinu. Sekontinu olah kreatif mereka. Sedangkan koleksi wayang potehi milik Toni pun menjadi sangat banyak. Berjibun.Syamsul Arif bersama kepala boneka dan peranti-peranti kerjanya.
(Foto: Boy Slamet-Harian Disway)

Di tengah perbincangan itu, datang lagi seorang pemuda. Namanya Syamsul Arif. Warga Gudo. Juga perajin kepala wayang potehi. Tanpa banyak cakap, Syamsul langsung ndheprok (duduk di bawah). Ia mengambil sejumlah peranti pahat. Juga menyiapkan gergaji listrik yang mirip mesin jahit tersebut.

Tangannya meraih potongan balok kayu nangka yang akan diolahnya. Kayu yang lebih keras dari kayu waru. Tetapi, lebih lunak daripada kayu jati. ’’Kayu jati itu harus cermat ngolahnya. Kalau tidak terampil, bisa siwel-siwel (cuil, Red) hasilnya,’’ ujar Toni.

Mereka hanya berhenti bekerja saat Harian Disway mengajak para perajin itu untuk berfoto bersama. Dan terbukti, bukan? Bahwa mereka sebenarnya juga layak menjadi model…

Toni bilang bahwa karya para seniman itu adalah karya yang masih mentah. Untuk bisa ditampilkan, bakal kepala itu akan dimasak lagi oleh Toni.

Dari para perajin, Toni memang menerima kepala boneka yang masih berwujud kayu telanjang. Tetapi kepala sudah terbentuk sesuai karakter. Juga sudah dihaluskan.

Kepala yang cocok akan langsung digarap oleh Toni. Didasari dulu pakai cat putih.

Cat semprot? ’’Bukan. Ya cat kayu biasa itu,’’ ujar Toni. Ia menyebut nama merek cat kayu yang cukup terkenal. Sering dipakai oleh para tukang. Bukan cat yang sangat mahal. Tetapi juga bukan yang murahan.

Kata Toni, cat semprot justru menyusahkan. Hasilnya memang cepat. Tetapi, kadang njlembret-njlembret. Berlepotan di sana-sini. Toni pun lebih percaya pada olah tangannya sendiri: pakai kuas.

Kepala yang sudah berlumur cat putih itu lantas didiamkan sampai siap diolah lagi. Diwarnai sesuai karakter tokoh-tokoh wayang potehi.


Mulyono (baju hijau) dan Syamsul Arif mengolah kayu menjadi kepala boneka wayang potehi.
(Foto: Boy Slamet-Harian Disway)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: