Permintaan Maaf Belanda Itu Omong Kosong

Permintaan Maaf Belanda Itu Omong Kosong

Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyatakan permintaan maaf kepada rakyat Indonesia atas kekerasan ekstrem yang terjadi pada Revolusi Nasional Indonesia (1945–1949). Pendiri komunitas Roodebrug Soerabaia dan anggota Histori Bersama (platform sejarah kolonial berbahasa Indonesia-Belanda-Inggris) Ady Setyawan menilai, semua permintaan maaf itu tak ada artinya.

SEMUA itu omong kosong!” seru Ady kemarin (20/2). Kalau sebagian besar rakyat Indonesia lega dengan pernyataan PM Belanda itu, Ady justru sebaliknya.

Permintaan PM Belanda itu didasarkan pada penelitian yang dilakukan selama empat tahun. Biayanya mencapai 4,1 juta euro atau setara Rp 66,6 miliar. Ada tiga lembaga yang terlibat. Yakni, Koninklijk Instituut voor Taal (KITLV), Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie (NIOD), dan The Netherlands Institute of Military History (NIMH).

Pimpinan penelitian Prof Gert Oostindie menyatakan, tentara, hakim, dan politisi Belanda secara kolektif menoleransi dan diam atas penggunaan sistematis kekerasan ekstrem selama perang kemerdekaan di Indonesia.

Ady menggarisbawahi frasa ”kekerasan ekstrem”. Frasa itulah yang dijadikan kedok untuk menormalkan kolonialisasi yang terjadi.

Frasa itu muncul dari disertasi Remy Limpach dari NIMH pada 2016. Ia mendefinisikan kekerasan ekstrem sebagai ”kekerasan massal”. ”Kekerasan ekstrem” didefinisikan dalam buku itu sebagai penggunaan kekerasan fisik yang terutama digunakan di luar situasi pertempuran reguler langsung terhadap non kombatan (sipil) dan terhadap kombatan (militer atau kombatan) yang dilucuti senjatanya setelah mereka ditangkap atau menyerah. Kekerasan ekstrem tersebut biasanya terjadi tanpa keperluan militer yang mendesak atau tanpa tujuan militer yang jelas.

Jika ditarik dari definisi itu, ada frasa ”kekerasan reguler”.  Serangan bom ke sebuah desa yang terdapat gerilyawan yang bercokol dianggap kekerasan reguler. Alias biasa. Semua operasi tempur untuk mempertahankan daerah jajahan juga biasa. Bukan kekerasan ekstrem.

”Ini cuma trik,” kata penulis buku Kronik Pertempuran Surabaya itu. Ia juga membaca berbagai artikel berita nasional yang sudah terkelabui atas permintaan maaf tersebut. Tertulis di banyak berita bahwa Belanda meminta maaf karena telah menjajah Indonesia.

Belanda ternyata juga pernah dijajah Jerman. Mereka menarasikan tindakan Jerman itu sebagai kekejaman yang luar biasa.

Jerman datang ke Belanda pada 1940 dan membombardir Rotterdam hingga luluh lantak. Karena pasukan Belanda tidak siap bertempur, pertahanan mereka cuma kuat enam hari.

Belanda yang kelimpungan dikuasai Hitler makin kelimpungan karena daerah jajahannya menuntut kemerdekaan. Anehnya, Belanda yang tidak ingin dijajah ternyata tidak mau berhenti melanjutkan penjajahannya setelah sekutu membalikkan keadaan. ”Rasisme Belanda ternyata tidak berubah sampai sekarang. Pola pikirnya ke kita tidak pernah berubah,” tegas Ady.

Ady Setiawan Roodebrug.

Bahkan, setelah mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949, Belanda malah menuntut biaya atas kedaulatan NKRI itu. Nilainya mencapai 4,5 miliar gulden dari tuntutan awal 6,5 miliar gulden.

Aneh, Indonesia yang luluh lantak akibat agresi militer itu malah harus membayar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: