Benda Pusaka Tingkatkan Spirit dan Aura Positif

Benda Pusaka Tingkatkan Spirit dan Aura Positif

BERANDA kantor Dinas Pemuda, Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata (Diporapar) Kabupaten Sidoarjo bak tempat angker. Aroma dari asap dupa dan menyan menyeruak. Puluhan meja tertata menyajikan benda-benda pusaka.

Ada ratusan keris, tombak, akik, hingga benda peninggalan kerajaan masa silam lainnya. Kantor di Jalan Sultan Agung itu sedang menggelar acara pameran benda pusaka. Berlangsung sejak Rabu (2/3) hingga Minggu (6/3).

Acara yang baru pertama diadakan di Sidoarjo itu mampu menarik lumayan banyak pengunjung. Mereka pun datang dengan berbagai motivasi. Ada yang hanya ingin melihat-lihat. Tidak sedikit kolektor yang memang berniat berburu pusaka.

Salah satunya Ali Marsudi. Warga Jenggolo itu datang bersama satu temannya. Sengaja mencari tambahan koleksi keris. ”Kalau ada pameran seperti ini, saya mesti datang,” ujar lelaki bertopi Valentino Rossi itu kemarin (3/3).

Ia berjodoh dengan keris Mageti di booth milik Sumedi Pho. Usia keris hitam polos dan legam itu sangat tua. Pembuatannya di era Majapahit. Si empunya keris pun bukan sembarangan. Buatan Empu Supo keturunan kelima belas.

Ada perasaan khusus yang muncul pada setiap keris yang dibelinya. Semacam rasa damai ketika pertama memandangnya. Sudah lebih dari 30 keris yang dikoleksi di rumahnya. ”Pas dipegang, hati langsung ngerasa tenang,” ungkap Ali.

Ia pun meyakini bahwa setiap keris bisa mendatangkan keuntungan. Bukan keuntungan materi, melainkan keuntungan yang lain. Misalnya, bisa menambah aura positif, kepercayaan diri, dan spirit.

Koordinator Pameran Benda Pusaka Sumedi Pho pun membenarkan hal tersebut. Banyak sekali pelanggannya yang berburu keris dengan motivasi serupa. Itu memang sesuai fungsi keris. ”Sebagai ageman. Pegangan dalam menjalani hidup sehari-hari,” ungkap pria yang karib disapa Pak Pho itu.

Ia juga memakai keris jangkung pendek di pinggangnya. Berjenis-jenis keris pun dijualnya. Termasuk jenis keris kabudhan yang paling tua. Pembuatannya di era 900–1000 masehi.

”Kalau yang kabudhan ini bagian gonjo-nya agak lebar memang. Karena teknik bikinnya sangat tua,” jelasnya. Seni ukirnya pun masih darurat. Tidak terlalu rapi dan cantik. Berbeda dengan buatan era Majapahit yang bentuknya cenderung ramping dan cantik. (Mohamad Nur Khotib)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: