Membawa Pulang Parang dari Rotenggaro

Membawa Pulang Parang dari Rotenggaro

Akhirnya impian saya kesampaian: ke Sumba. Pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) itu sudah lama saya incar. Bersepuluh, trip tiga hari itu membuat saya tak habis-habisnya mengagumi Indonesia.

Benar banget kalau Sumba terpilih sebagai salah satu pulau terindah di dunia versi majalah Focus di Jerman. Dengan tetap waspada dengan Covid-19 yang masih merebak, saya ke Sumba pada 28 Februari lalu.

Pulau itu menarik hati saya, lebih-lebih setelah menonton film Pendekar Tongkat Emas yang disutradarai Ifa Isfansyah produkdi Mira Lesmana. Tak hanya memuji akting para aktornya Christine Hakim, Eva Celia, Reza Rahadian, Nicholas Saputra, dan Tara Basro, tapi saya -semua penonton- pasti akan kesengsem dengan keindahan lokasi syuting di salah satu pulau di NTT itu.

Menjejak kaki di Bandara Tambolaka di Sumba Barat Daya

Pergi dengan kedua kakak kandung dan teman-teman kakak saya, kami bersepuluh berangkat. Meeting point ditetapkan di Ngurah Rai Airport karena kami berangkat dari tiga kota. Tiga orang dari Surabaya, seorang dari Manado, dan 6 dari Jakarta.

Dari Ngurah Rai Airport, kami terbang menuju ke Tambolaka Airport, di Sumba Barat Daya. Begitu keluar gate kami sudah dijemput oleh guide kami, Indra Tua Radjah yang mengelola Indra Trip Sumba.

Satu lagi ada Jekson Nggali Amas yang menjadi fotografer khusus yang kami sewa selama trip. Bersyukur banget lho ada Indra dan Jeko yang sangat baik dan telaten. Untuk yang akan nge-trip ke Sumba, saya merekomendasikan mereka deh.

Dari bandara, kami langsung menuju lokasi pertama. Desa Adat Rotenggaro di Desa Umbu Ngedo, Kodi Bangedo, Sumba Barat Daya. Sebetulnya banyak sekali desa adat di Sumba. Tetapi tidak semua desa adat boleh dimasuki wisatawan.

Di sinlah kita bisa melihat kubur batu tua yang jumlahnya mencapai 304 buah. Diperkirakan ada sejak zaman megalitikum 4500 tahun silam. Di antara kubur-kubur tua tersebut terdapat enam titik yang dikeramatkan. Yaitu makam pendiri Ratenggaro yakni Gaura dan istrinya Mamba.

Saya bergaya dengan Pak Paulus dengan parang miliknya yang akhirnya dilepaskannya kepada saya. Tampak rumah adat Rotenggaro yang khas dengan atapnya yang menjulang tinggi.

Meskipun boleh dikunjungi wisatawan, area pemakaman ini tak boleh kita masuki. Tapi jangan khawatir, kita sudah sangat puas melihat rumah adat dengan ciri khas atapnya yang menjulang tinggi. Satu rumah biasanya dihuni beberapa keluarga.

Seperti wisatawan yang lain, kami menyewa baju adat untuk dipakai selama berkeliling. Tentu saja untuk kepentingan foto dong. Murah saja hanya Rp50 ribu setiap orang. Dan di belakang desa, kita bisa menatap Pantai Rotenggaro yang indah.

Di Rotenggaro ini saya makin puas lagi karena berhasil membujuk Pak Paulus, warga setempat, mau menjual parang bikinanya sendiri kepada saya. Tahu kan buat masyarakat Sumba Barat Daya, parang adalah senjata yang biasa dibawa ke mana mana.

Bagaimana bisa Pak Paulus melepas parang yang sudah bersamanya bertahun-tahun? Ya itu berkat kebiasaan saya yang selalu suka membaur dengan masyarakat lokal bila datang ke daerah yang baru.

Saya merasa beruntung mendapatkannya karena memang agak susah bisa menemukannya di toko souvenir. Kalau pun ada, fungsinya hanya sebagai pajangan. Bukan parang beneran yang tajam dan bisa digunakan. Soal harga, rahasia ya. Hehehe.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: