Jeda Mengerti Hakikat Masa Depan
Kini semakin komplekslah mengenai perkembangan pandemi Covid-19. Dibarengi kelangkaan minyak goreng. Tempe kian menampar karena langka di pasaran. Impor harus digulirkan karena demikianlah siklus kebutuhan dunia untuk saling menopang.
Pada titik ini jelas memekatkan Omicron semakin mengental dalam balutan pandemi tanpa permisi. Dia hadir sebagai varian yang memuai dari pandemi Covid-19. Gelegak rakyat dan gerak negara beriring untuk mengatasinya.
Pelaksanaan PPKM dengan level yang beragam menjadi atribut tingkat kedaruratan wilayah. Covid-19 selaksa sedang melakukan pertunjukan keliling dunia dan hendak memuncakinya dalam pesta kemenangan saat khalayak ramai abai terhadapnya. Publik terpotret tidak belajar dari ontran-ontran Covid-19 edisi Juni-Juli 2021 yang ambyar, kalau mengikuti bahasa Mas Didi Kempot almarhum.
Mbok ya ingat selalu bahwa sejak jasad renik ini menebarkan maut dari provinsi Hubei China sudah banyak menelan korban. Masyarakat internasional dibuat tercekam dalam formasi antriean jenazah. WHO pun menetapkan status pandemi global. Sampai hari ini data kasus Covid-19 bergerak dinamis, termasuk di negeri ini yang merebak dari kota ke desa-desa. Adakah Covid-19 ini sedang berselancar membaca novel A Time To Kill karya John Grisham sambil berteriak geram: inilah saat untuk membunuh.
Ketahuilah bahwa angka-angka warga negara yang terenggut nyawanya oleh Covid-19 bukanlah soal matematis belaka. Derap Omicron bermuatan sebuah pesan tentang negara yang terlihat gagap menjalankan norma yuridis Pembukaan UUD 1945: ”melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah”.
Ruas penyebaran Covid-19 yang kian merebak lembut ternyata mengancam daya tahan kekukuhan sebagai bangsa.
Saksikanlah orang-orang yang tinggal di lorong-lorong jalan, di gang-gang sempit perkotaan dan di kampung-kampung padat penduduk itu, mereka berbisik dalam kebingungan: sampai kapan pagebluk ini berlangsung?
Ke mana kami harus berlari untuk menghindarkan diri dari ”sengatan” Omicron? Bukankah kalau mengikuti Maya Banks dalam bukunya No Place To Run: tiada tempat bersembunyi.
Adakah kita semua akan memasuki suatu fase seperti digambarkan oleh David Wallace-Wells dalam bukunya The Uninhabitable Earth: bumi yang tak dapat dihuni?
Meskipun di beberapa belahan dunia Covid-19 telah pulih, kondisi ini tidak boleh dianggap remeh dan dibiarkan begitu saja. Kita harus tetap waspada.
Melahirkan Coronavirus Juridicus
Ketersediaan kita semua sampai saat ini untuk berkenan menata diri adalah pilihan terbaik dalam kebijakan mengeleminasi penyebaran Omicron. Sikap ini aktual meskipun dinilai tampak gagap dan terlambat dibandingkan dengan kegaduhan Korona yang menjalar di masyarakat.
Punggawa negara tampak gupuh meski semula amat jumawa dengan membiarkan nataru ”melenggang kangkung”. Jangan kendur merekonstruksi kebijakan mengatasi dampak bencana Covid-19, karena hak-hak dasar ”hidup sehat warga negara” pantang diabaikan.
Siapa pun yang merasa menjadi pemimpin, pastilah terpanggil untuk membentengi rakyat dari ”serbuan tentara Omicron” sesulit apa pun kondisinya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: