Korupsi Rp 50 Juta, Jangan Dipenjara

Korupsi Rp 50 Juta, Jangan Dipenjara

Itu bertentangan dengan prinsip Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Waktu itu pun segera ditanggapi Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, kepada wartawan, Jumat, 28 Januari 2022, mengatakan:

"Negara kita adalah negara hukum. Yang pembentuknya adalah DPR dan pemerintah. Selama hal tersebut tidak diatur dalam UU, kita sebagai penegak hukum tidak bisa berkreasi membiarkan korupsi di bawah Rp 50 juta."

Dilanjut: "Karena aspek hukum bukan sekadar tentang kerugian negara. Tapi, juga aspek penjeraan. Dan, sebagai pernyataan, penghinaan terhadap perilaku yang tercela, yang tidak melihat dari berapa pun kerugiannya."

Di hari yang sama, Jumat, 28 Januari 2022, peneliti Pukat Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman juga menentang. Sebab, tindakan jaksa agung itu (karena sudah mengimbau seluruh jaksa) menyemarakkan korupsi kecil-kecilan.

Zaenur kepada wartawan mengatakan: "Ini tentu menaikkan korupsi di tingkat para pegawai bawah. Misalnya di desa."

Dilanjut: "Kalau hanya diancam untuk mengembalikan kerugian negara, para pegawai di tingkat bawah tidak akan takut melakukan korupsi. Toh, risiko terbesarnya disuruh mengembalikan, atau hanya dilakukan pembinaan oleh inspektorat."

Dari pihak para penentang, intinya, begini: Selama ini saja korupsi merajalela. Apalagi, itu sudah diterapkan (dengan imbauan jaksa agung kepada seluruh jaksa). Korupsi bakal gila-gilaan.

Bisa dibayangkan, di sektor pelayanan publik. Misalnya, mengurus KTP, pindah penduduk, izin usaha, aneka urusan perizinan. Selama punglinya Rp 50 juta ke bawah, tidak akan diadili. Kalau ketahuan, cuma disuruh mengganti uang pungli atau korupsi.

Itu cocok dengan teori kriminologi: rational choice theory. Dicetuskan sosiolog James S. Coleman, yang menyatakan: Penjahat selalu berkalkulasi untung-rugi.

Asumsi dasar rational choice theory, seluruh perilaku sosial disebabkan perilaku individu, yang masing-masing membuat keputusannya sendiri. Teori itu berfokus pada penentu pilihan individu (penjahat).

Teori pilihan rasional juga berasumsi bahwa seseorang memiliki preferensi di antara beberapa pilihan alternatif. Yang memungkinkan orang tersebut menyatakan pilihan yang diinginkannya.

Inti rational choice theory, dalam perspektif penjahat, begini: Jika kerugian lebih besar daripada keuntungan, tindak kejahatan tidak dilakukan. Kalau sebaliknya, ya... lanjut saja.

Walaupun logika Jaksa Agung Burhanuddin juga kuat. Ngapain memenjarakan koruptor senilai Rp 50 juta ke bawah kalau dengan begitu negara menderita tekor dua kali.

Seperti halnya berdagang, jika biaya produksi lebih besar daripada pendapatan, dan terus-menerus, bisnis itu sebaiknya ditutup saja.

Betapa pun, jika ide Burhanuddin itu kelak disetujui semua pihak, terutama pembuat undang-undang, maka jadi undang-undang. Lantas, dilaksanakan pihak yudikatif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: