Bisa Sesuai Pakem, Bisa Kontemporer

Bisa Sesuai Pakem, Bisa Kontemporer

Pengalaman panjang Widodo Santoso sebagai seorang dalang membuatnya bisa mengkreasikan beragam cerita. Meskipun ia juga sangat paham dengan kisah-kisah sesuai ’’pakem’’ wayang potehi.

ALKISAH, tersebutlah seorang saudagar yang tinggal di desa Bu Ke Cung. Suatu hari, sang saudagar itu wafat. Ia meninggalkan wasiat yang membikin galau anak-anaknya.

’’Bagaimana mungkin aku punya papa punya wasiat seperti itu? Sungguh, bingung hati ini dibuatnya,’’ kata Bun Liau, anak kedua saudagar tersebut.

Apa gerangan wasiat itu?

’’Papa minta kami, anak-anaknya, untuk membagi hewan kambing milik papa.’’

Bun Liau terus termenung. Pikirannya melayang tak tentu arah.

’’Itu binatang kambing ada 17. Papa bilang, anak pertama dapat bagian 1/2, anak kedua dapat bagian 1/3, dan anak ketiga dapat bagian 1/9. Bagaimana ini?’’

Itulah yang membuat Bun Liau galau. Tidak mungkin 17 kambing itu dibagi sesuai wasiat sang papa. Yang lebih membikin pusing,… ’’Aku punya koko, namanya Bun Hao, tidak mau tahu. Ia ingin membagi sendiri warisan itu. Ia ingin menang sendiri. Haiya, cilaka….’’ ucap Bun Liau dalam kesendiriannya itu.

Saat itulah, Bun Hao datang. Seperti diduga, Bun Hao langsung marah-marah terhadap Bun Liau. Ia ingin warisan itu langsung dibagi sesuai keinginannya. ’’Kalau menuruti almarhum papa, itu tidak mungkin. Tujuh belas kambing itu tidak mungkin dibagi seperti keinginan papa,’’ kata Bun Hao.

Namun, Bun Liau bergeming. Ia minta waktu kepada sang kakak. Agar tetap bisa membagi kambing itu sesuai wasiat ayah mereka.

Bun Hao makin ngotot.  Bun Liau dihajar. Mereka terlibat perkelahian singkat. Bun Liau yang tak mau terlalu dalam meladeni amarah sang kakak akhirnya lari.

Pertikaian dua saudara itu didengar oleh Ping An, salah seorang abdi yang bekerja kepada Cin Hin, orang cerdik pandai di desa itu. Melaporlah Ping An kepada majikannya. ’’Sudah, biar aku yang menyelesaikan masalah itu,’’ kata Cin Hin.

Orang bijak itu lalu menemui Bun Liau dan Bun Hao. ’’Aku mendengar masalah kalian. Aku prihatin. Sebagai niat baik, aku akan berikan satu kambing milikku kepada kalian. Agar jumlah binatang itu menjadi genap. Agar bisa dibagi sesuai wasiat ayah kalian,’’ kata Cin Hin.

Bun Liau dan Bun Hao setuju. ’’Dengan satu syarat: kalau sudah dibagi sesuai wasiat, kalian harus kembali berdamai. Dan kalau ada sisa pembagian kambing tersebut, itu akan saya minta,’’ ujar Cin Hin. Dua bersaudara itu juga setuju.

Itulah yang terjadi. Dengan satu kambing tambahan dari Cin Hin, maka ada 18 kambing yang dibagi. Dan sesuai wasiat sang ayah, Bun Liau membagi kambing tersebut. ’’Anak pertama mendapat 1/2, artinya Koko Bun Hao mendapat 9 kambing. Anak kedua mendapat 1/3, artinya aku mendapat 6 kambing. Sedangkan anak ketiga mendapat 1/9, artinya adik kita mendapat 2 kambing. Betul?’’ tanya Bun Liau. Bun Hao mengangguk?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: