Big Data Menggoyang Politikus
Dikutip dari Crisis Group (lembaga internasional, fokus pencegah konflik pemilu) pada September 2020, menganalisis, bahwa pilpres AS, 3 November 2020, berpotensi konflik.
Indikatornya ada sebelas, yakni:
1) Item tertentu secara konsisten muncul sebagai tanda bahaya, termasuk: Pemilih yang terpolarisasi.
2) Taruhan tinggi yang digambarkan oleh kedua pihak (dalam hal ini, Trump dan Joe Biden) sebagai eksistensial.
3) Maraknya ujaran kebencian dan misinformasi melalui media sosial dan media lainnya, termasuk media massa.
4) Ketegangan etno-sektarian atau rasial yang sudah ada sebelumnya. Antara lain, Black Lives Matter.
5) Tudingan saling menipu atau keinginan untuk menipu, antara kelompok berkompetisi. Plus kompor provokator.
6) Ketidakpercayaan terhadap lembaga penyelenggara pemungutan suara atau lembaga penyelesaian perselisihan.
7) Sumber informasi yang sangat terpisah dan tidak dapat dipercaya. Bertolak belakang.
8) Keberadaan aktor atau milisi non-negara bersenjata, dengan akses mudah membawa senjata.
9) Prospek margin pemilu yang sempit dari hasil perolehan suara yang diperebutkan.
10) Petahana yang melihat kepentingan hukum, dipertaruhkan dalam pelestarian atau hilangnya kekuasaan.
11) Kepemimpinan politik yang memicu perpecahan daripada meredakannya.
Itu di AS. Terbukti, disebutkan media massa sana, Pilpres 2020 paling rusuh dalam sejarah modern AS.
The Washington Post menyebutkan tingkat kerusuhan Pilpres 2020 dibandingkan Pilpres 1876. Kontestasi antara Samuel Tilden, Partai Demokrat, melawan Rutherford B. Hayes, Partai Republik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: