Gestur Baru NU
Itu bisa terjadi karena makin banyak pemimpin NU yang memiliki kemampuan teknokratis. Mereka sudah terbiasa mengelola organisasi dengan perencanaan yang kuat, target capaian yang jelas, dan instrumen evaluasi dan monotoring yang terukur. Masing-masing memiliki KPI (key performance index) yang telah disepakati bersama.
Akankah perubahan gestur dan wajah kepengurusan NU itu membuahkan hasil? Bagaimana wajah NU ke depan dengan kepemimpinan seperti itu? Tentu masih perlu waktu untuk melihat hasilnya. Yang sudah pasti, menjadi tak relevan lagi membedakan Islam di Indonesia ke dalam kategori Islam tradisional dan Islam modern.
Yang juga pasti, NU sebagai organisasi Islam raksasa telah menggeliat dalam merespons perubahan dunia yang begitu cepat. Ia ingin menjadi organisasi atau jam’iyah yang luwes (fleksibel) dan tangguh (resillience) untuk menjadi bagian dari pembentuk peradaban. Bukan hanya objek peradaban.
NU tak ingin menengok ke belakang. Apalagi, menarik kembali umat Islam ke dalam peradaban awal ketika Islam diturunkan di tanah Arab. Seperti yang dilakukan sekelompok umat Islam yang kini mengampanyekan hal itu secara masif di bumi Indonesia.
NU di bawah kepemimpinan Gus Staquf ingin menatap ke depan. Membangun peradaban dunia yang baru yang damai dan maslahat bagi umat manusia. (*)
*) Arif Afandi adalah pengurus pusat LPNU 2022–2027.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: