Latar Belakang Proses Berkarya Wantiyo dari Kedekatan Budaya
Wantiyo di samping Karya Berjudul "Nggandrung"-Wantiyo untuk Harian Disway-Wantiyo
Karya seni rupa kerap merekam berbagai kejadian dan khasanah budaya dari berbagai daerah. Wantiyo, misalnya, ia menuang berbagai kebudayaan dalam karyanya. Seperti tari Dolalak, hingga tradisi menumbuk padi. Terciptanya karya-karya Wantiyo tak lepas dari latar belakang lingkungan dan pengalaman masa kecil.
Mungkin tak banyak yang tahu tentang tari Dolalak. Di antara beragam tari Nusantara, tari tersebut merupakan hasil akulturasi dari budaya Jawa dan Belanda. Diberi nama "Dolalak", berasal dari notasi musik do dan la. Hanya dua nada saja yang dimainkan sebagai latar musik tari tersebut. Nada itu dibunyikan melalui dua perangkat gamelan.
Saat ini sangat sedikit pelestari tari Dolalak. Bahkan di Purworejo, sebagai kota asal tarian tersebut, penggiatnya tak banyak. Hal itu memicu kegelisahan Wantiyo, pelukis asal Bantul, Yogyakarta. "Saya memang bukan pelaku tari Dolalak. Tapi sebagai seniman, saya merasa bertanggung jawab untuk turut nguri-uri atau melestarikan. Setidaknya lewat lukisan," ungkapnya.
Tari Dolalak tergambar dalam lukisannya berjudul Nguri-uri. Dalam lukisan tersebut terdapat figur tiga penari perempuan dengan busana unik. Tarian yang katanya berasal dari Purworejo, tetapi busananya kurang mencerminkan busana adat dari daerah tersebut. "Memang Dolalak terinspirasi dari orang Belanda. Gerakan seperti dansa, kostumnya seperti baju militer Belanda era kolonial," ungkapnya.
Latar belakang penciptaan Nguri-uri terkait erat dengan kedekatan Wantiyo terhadap tarian tersebut. Saat kecil ia masih sering melihat pertunjukan Dolalak. Kini, semakin jarang yang menarikan Dolalak. Wantiyo rindu. Salah satu media mengaktualisasikan rindu adalah dengan melukis.
"Banyak cerita dari orang tua dan kakek tentang tari Dolalak. Awalnya ditarikan oleh para pria. Lambat laun penarinya perempuan semua. Karena masyarakat lebih senang perempuan yang menari. Lebih gemulai. Katanya begitu," terang pria 49 tahun itu. Lebih lanjut Wantiyo menyebut bahwa tarian tersebut sempat menghilang ketika terjadi Perang Dunia II.
Selain tarian, Wantiyo juga menuangkan tradisi menumbuk padi dalam lukisan berjudul Mengolah Hasil. Tradisi itu lekat dengan masa lalunya pula. Setiap pagi para perempuan berkumpul untuk melakukan kegiatan tersebut. "Sekarang sudah tidak ada orang menumbuk padi. Jadi kebiasaan itu sangat saya rindukan. Suara-suara lesung bertalu-talu yang membangunkan saya dari tidur," ujarnya. Suara-suara tumbukan padi itu jadi semacam "Alarm" alami. Mengabarkan bagi semua orang yang masih terlelap bahwa fajar telah menyingsing.
Melihat karya-karyanya, semua orang dapat memahami bahwa latar belakang pelukis terkait lingkungan dan pengalaman masa kecil, berpengaruh besar bagi penciptaan karya. (Guruh Dimas Nugraha)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: