Penjelajahan Tiga Zaman Ady Setyawan (4) : Surabaya Penuh Catatan Sejarah

Penjelajahan Tiga Zaman Ady Setyawan (4) : Surabaya Penuh Catatan Sejarah

Ady Setyawan dan Hadi Saputro di Surabaya.-Julian Romadhon-Harian Disway-

Ady Setyawan dan Hadi Saputro sudah melintasi 900 kilometer Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan. Tinggal seratus kilometer lagi. Dalam momentum akhir itu, mereka sampai di Surabaya. Kota yang ternyata punya banyak cerita tentang Herman Willem Daendels.

PERJALANAN panjang sudah dilalui Ady. Impian melakukan Jelajah Tiga Zaman hampir rampung. Jumat, 3 Juni 2022, sore, ia sudah berada di Kota Pahlawan. Langsung kembali ke kediamannya di Medayu Utara, Rungkut.

 

Di sana, pria 39 tahun itu kembali bertemu dengan keluarga kecilnya. Melepas rindu dengan istri Danti Ayu Irawati dan M. N. Pratama Setyawan, anaknya yang masih berusia 4 tahun. Tentu, ia juga membersihkan motor yang telah mengantarnya dari Anyer. Ady juga mencuci baju yang digunakan sepanjang perjalanan. Juga beristirahat, tentunya.

 

Minggu pagi, 5 Juni 2022, pukul 08.00, Ady bersama Hadi kembali bersiap melanjutkan perjalanan menelusuri Jalan Raya Pos. Mereka berkumpul di Kayoon Haritage. Sebuah angkringan di Surabaya yang memanfaatkan bangunan tua yang tak lagi utuh. Dulunya, bangunan tersebut adalah kantor PT PAL.

 

Bangunan itu kosong selama 30 tahun. Sampai akhirnya dikelola menjadi tempat nongkrong anak muda di Kota Pahlawan. Jam tangan Ady sudah menunjuk pukul 08.50. Mereka langsung bersiap untuk memulai perjalanan mereka. Tepat pukul 09.00, keduanya kembali menarik gas motor.

 

Tujuannya adalah Benteng Prins Hendrik. Dulunya, benteng tersebut berada di samping Jembatan Petekan. Bangunan itu dibangun guna melindungi dan memenuhi kebutuhan militer kolonial kala itu. Benteng tersebut juga sempat dijadikan penjara khusus wanita. Pun sempat beralih fungsi menjadi gudang penyimpanan amunisi kolonial Belanda.

 

Tidak ada catatan yang menerangkan kapan benteng tersebut didirikan. Hanya ada data bahwa daerah tersebut sudah ramai menjadi permukiman sejak 1930.

 

Pada 1860, Mayor William Thornd mencatat dalam bukunya, Penaklukan Pulau Jawa, bahwa benteng itu sangat besar dan kukuh. Punya jalur bawah tanah. Buku itu juga menuliskan tentang prostitusi di sekitar benteng.

 

Jejak-jejak itu sekarang tanpa sisa. Hanya menyisakan toponimi atau sejarah penamaan sebuah daerah. ’’Di sana kan nama-nama jalan pakai nama benteng. Ada Benteng Dalam dan sebagainya. Di situlah letak bentengnya. Selebihnya tidak ada,’’ kata Ady kepada Harian Disway.

 

Dari kawasan itu, Ady dan Hadi menuju Jembatan Merah. Yang digambarkan oleh Thorn sebagai jembatan kukuh dengan konstruksi unik: bisa diangkat dengan rantai sangat besar.

 

Tetapi, kondisi semacam itu tidak dikenal warga Surabaya. Yang mengenal jembatan itu sebagai tempat peperangan sengit saat 10 November 1945.

 

Kawasan Jembatan Merah pernah menjadi pusat perniagaan. Wilayah itu berkembang setelah ada perjanjian antara Pakubuwono II dari Mataram dengan VOC pada 11 November 1743.

 

Dalam perjanjian itu sebagian daerah pantai utara, termasuk Surabaya, diserahkan penguasaannya kepada VOC. Sejak saat itulah Surabaya berada sepenuhnya dalam kekuasaan Belanda.

 

Jejak kawasan Jembatan Merah sebagai pusat perniagaan masih ada hingga kini. Bekas-bekas toko menampakkan kejayaannya di masa silam. Kukuh. Dengan arsitektur zaman kolonial.

 

Ady juga mampir ke Gedung Grahadi. Tempat itu dulu dirampas pemerintah Hindia Belanda dari seorang Tionghoa. Betul-betul dirampas. Tanpa ganti rugi. “William Barrington ternyata mencatat cerita itu lebih detail lagi. Sayangnya, ia tidak mencatat siapa nama orang Tionghoa itu,” jelasnya.

 

BACA JUGA: Benteng VOC Jadi Penjara

 

Dikisahkan, Belanda memang mengincar tanah luas di tepi Kalimas itu. Sang pemilik dipanggil. Rumahnya akan dibeli. Tetapi, orang Tionghoa itu menolak. “Ia mengatakan tanah itu tidak dijual. ’Silakan Tuan mencari yang lain,’,” kata Ady meniru kalimat dalam buku tersebut. Belanda yang tersinggung langsung merampas tanah di tersebut.

 

Pada zaman itu, ketika orang Belanda lewat, orang harus menunduk, bersimpuh, atau melepas topi mereka. William Barrington mencatat, ketika itu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels melintas. Kebetulan, orang Tionghoa pemilik tanah tersebut ada. Tetapi, ia tidak tunduk. Masih berdiri tegap.

 

Ady Setyawan menunggangi motornya.-Julian Romadhon-Harian Disway-

 

Itu membuat kemarahan Belanda makin menjadi-jadi. Mereka khawatir, orang-orang pribumi akan simpati dan mencontoh orang tersebut. Bahkan bisa menjadi pemberontakan, akhirnya orang Tionghoa itu ditangkap dan dipenggal. “Jadi tidak hanya tanahnya yang dirampas. Tapi, orang itu juga dibunuh,” bebernya.

 

Catatan tentang Surabaya paling banyak. Menurut Ady, itu petunjuk bahwa pada abad ke-19, Surabaya sudah menjadi kota besar.

 

Pertumbuhan Surabaya juga begitu pesat. Kota itu adalah pangkalan angkatan laut terbesar. Juga ada catatan yang menyebutkan bahwa dua per tiga hasil bumi dari sektor gula keluar dari Tanjung Perak. “Kita bisa bayangkan, betapa besarnya Surabaya saat itu,” jelasnya lagi.

 

Ady menganalisis, dari faktor militer, Surabaya sangat strategis. Sebab, untuk memasuki teritorial laut kota itu, perahu harus melintasi selat kecil di antara Madura dan Surabaya. Itu adalah benteng alami yang sangat susah untuk ditembus. “Itu mengapa Surabaya dinilai sangat aman. Maka di sinilah pangkalan angkatan laut terbesar saat itu ada di Surabaya,” ucapnya. (Michael Fredy Yacob)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: