Desa Wisata Dusun Jeding: Belajar Membuat Ekoenzim dari YouTube
TJUPLIK Astuti (dua dari kanan) menceritakan produk ekoenzim kepada Rektor Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya Siti Marwiyah (tiga dari kanan) di Dusun Jeding, Desa Junrejo, Batu, Kamis, 16 Juni 2022.-Michael Fredy Yacob-
BATU, HARIAN DISWAY- Sejuta manfaat ekoenzim. Namun, pembuatan yang membutuhkan waktu lama yang membuat banyak orang malas memproduksinya. Pun jika tidak dengan tekun dan teliti, hasilnya akan berantakan.
=======================================
PERJALANAN spriritual Tjuplik Astuti membawanyi menjadi orang yang peduli terhadap lingkungan. Seminar dan perkumpulan keagamaan selalu diikutinyi. Itu dilakukan sejak 2014. Ketika itu ibu satu anak tersebut baru saja memutuskan menghentikan usaha menjahitnyi.
Padahal, usaha itu sudah ditekuninya sejak 1992. Ketika itu dia sedang menemani sang suami bertugas di Sumenep. Di masa membangun usaha tersebut, Tjuplik mengikuti banyak komunitas tata busana. Orderan di tokonyi juga tidak pernah sepi.
Namun, berjalannya waktu, para penjahit di tempatnyi sudah ahli dalam menjalankan pekerjaannya. Alhasil, semua berhenti dari tempat jahit Tjuplik. Hal tersebut membuat perempuan kelahiran 21 September 1958 itu kewalahan memenuhi permintaan para konsumen.
Kala itu dia memutuskan untuk menutup usaha tersebut. Namun, alumnus jurusan kedokteran hewan itu tidak bisa diam. Dia pun mengikuti kegiatan religi. Ingin menimbah ilmu agama Islam dengan baik. Kemudian, diterapkan kepada orang di sekitarnya.
Suatu hari dia mendengarkan materi yang sangat luar biasa. Itulah yang mengubah hidupnyi sejak saat itu hingga kini. Kalimat tersebut berbunyi: ibadah yang sempurna adalah ketika seseorang dapat bermanfaat bagi sesama manusia dan lingkungan.
”Saat itu saya berpikir, apa yang bisa saya lakukan agar menyempurnakan ibadah saya. Saya sadar, yang saya lakukan hari itu hanya berguna bagi diri saya sendiri. Tidak pernah berdampak bagi orang sekitar saya. Apalagi, lingkungan,” katanyi kepada Harian Disway, Sabtu, 18 Juni 2022.
Warga Jalan Aryobebangah, Waru, Sidoarjo, itu lalu mencari inspirasi. Mahasiswa Universitas Airlangga angkatan 1981 itu pun mencari berbagai literasi di internet. Sembari mendengarkan dakwah di YouTube.
Dia lupa kapan kali pertama nonton video di kanal yang didirikan Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim. ”Mungkin sekitar 2010. Saat itu memang YouTube tidak sepopuler sekarang. Saya belajar nonton YouTube dari anak saya,” ungkapnyi.
Namun, di suatu malam yang sunyi pada 2019, ketika itu ibunda Sixta Tungga Satria tersebut baru saja pulang mengikuti seminar keagamaan. Badannya letih. Sesampai di rumah, dengan sisa tenaga yang ada, dia langsung mandi untuk membersihkan badan.
Setelah mandi, dia langsung membaringkan badan di kasur empuk miliknyi. Seperti biasa, setiap malam, Tjuplik pasti akan menonton YouTube. Tanpa sengaja, dia menemukan akun YouTube yang berisi cara pembuatan ekoenzim.
Tiba-tiba Tjuplik tertarik untuk membuat sendiri di rumah. Dia melihat beberapa komentar yang tertuang di kolom yang berada di video tersebut. Di sana perempuan yang akan memasuki usia 64 tahun itu mendapat komunitas baru. Namun tetap, kegiatan keagamaan terus dilakukan.
Di komunitas itu, dia diajari untuk membuat ekoenzim. Bahan dasarnya adalah sampah buah atau sayuran. Tapi, ternyata awal dirinyi mempraktikkan teori tersebut, ekoenzim yang dibuatnyi gagal total. Malah menimbulkan bau busuk yang sangat menyengat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: