From Russia with…

From Russia with…

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

AGEN rahasia Inggris James Bond yang berkode 007 melakukan misi berbahaya untuk mencari peralatan ”decoding” milik Rusia. Dalam misi itu, Bond dibantu agen perempuan Tatiana Romanova yang mempunyai jaringan dengan pemerintah dan mafia Rusia.

Bond yang menghadapi perlawanan sengit dari mafia dan banyak musuh akhirnya bisa menyelesaikan misinya. Bond pun mendapatkan cinta dari Tatiana. Mission accomplished. Misi dituntaskan. Dunia pun selamat dari kehancuran.

Kisah From Russia with Love itu adalah serial kedua film James Bond yang sangat populer. Episode tersebut beredar pada 1963, dibintangi aktor Inggris Sean Connery sebagai James Bond, dan dianggap sebagai salah satu episode James Bond yang paling sukses. Film itu menjadi salah satu yang paling dikenang sepanjang masa. Meski sudah berusia setengah abad, film tersebut masih sering ditonton dan judul film itu sering dikutip dalam berbagai penulisan dan pembicaraan.

Presiden Joko Widodo sudah menyelesaikan misinya ke Ukraina dan Rusia yang sedang bergolak oleh peperangan panjang. Jokowi mencoba mencari formula untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai sekaligus menyelamatkan dunia dari krisis yang lebih luas.

Misi James Bond ke Rusia adalah mencari decoding yang dikuasai organisasi rahasia yang punya niat jahat untuk menghancurkan dunia. Misi Bond disebut sebagai mission impossible, ’misi yang mustahil’, karena menghadapi perlawanan dan penentangan dari banyak kekuatan besar. Dengan kecerdikan dan keberaniannya serta dengan bantuan agen Tatiana yang cantik dan pintar, Bond akhirnya bisa menyelesaikan misi mustahil itu.

Joko Widodo juga sedang menjalankan misi yang bisa disebut sebagai ”mission impossible”. Tentu saja Jokowi bukan James Bond yang bisa dengan ”single handed” sendirian menyelesaikan misi berbahaya. Jokowi bukan super-agen jagoan yang bisa dar-der-dor menghancurkan lawan. Alih-alih, Jokowi berusaha mempergunakan diplomasi politik untuk merayu Rusia dan Ukraina supaya mau berdamai.

Hasil perdamaian belum bisa dilihat secara instan. Rusia malah melakukan serangan baru ke wilayah Ukraina.  Tapi, setidaknya Jokowi sudah menjalankan misinya dengan selamat. Malah dalam pertemuan dengan Putin, Jokowi juga berbicara dan menawarkan beberapa kesempatan investasi, termasuk di Ibu Kota Nusantara. Putin juga tertarik untuk berinvestasi menggarap jaringan kereta api di ibu kota baru.

Misi Jokowi itu mirip dengan misi yang dilakukan Presiden Soeharto ke Bosnia-Herzegovina pada 1995. Ketika itu perang Bosnia sedang berada pada puncaknya. Agresi Serbia terhadap Bosnia yang penduduknya mayoritas muslim menyeret wilayah Balkan menjadi daerah konflik yang berbahaya yang bisa merembet menjadi perang skala penuh yang lebih luas di Eropa.

Presiden Soeharto sebagai pemimpin Gerakan Nonblok berusaha mempergunakan pengarauhnya untuk membujuk pihak-pihak yang bertikai untuk menghentikan agresinya. Kehadiran Presiden Soeharto di Bosnia-Herzegovia diwarnai dengan berbagai ketegangan yang dramatis dan heroik.

Pak Harto bertekad bertolak ke Eropa untuk terjun ke area konflik secara langsung. Pak Harto berharap agar kehadirannya di Bosnia dapat menjadi penengah konflik sekaligus menunjukkan simpati kepada umat muslim Bosnia yang menjadi target serangan etnis Serbia.

Konflik itu berawal dari keinginan Bosnia-Herzegovina untuk memerdekakan diri dari Federasi Yugoslavia yang kemudian ditolak Serbia sebagai negara yang paling dominan di wilayah Balkan. Terjadi persekusi dan pembunuhan besar-besaran yang dikenal sebagai ethnic cleansing, ’pembersihan etnis’, di Balkan. Ribuan orang dibunuh dan wanita-wanita diperkosa.

Pada Maret 1995, Presiden Soeharto bersama rombongan tiba di Eropa. Mereka sempat singgah di Zagreb, Kroasia, dan bertemu langsung dengan presiden negara itu, Franjo Tudjman, untuk merundingkan berbagai strategi yang memungkinkan untuk mengakhiri konflik. Kroasia juga sudah memerdekakan diri dan menghadapi ketegangan dengan Serbia yang agresif.

Di Kroasia, rombongan Indonesia mendapat kabar tentang pesawat yang ditumpangi utusan khusus PBB ditembak jatuh. Kabar itu tidak menciutkan nyali Soeharto. Pak Harto terbang ke Bosnia dengan menggunakan pesawat sewaan buatan Rusia yang dibuat oleh PBB.

Pak Harto pada akhirnya mendarat hanya dengan mengenakan jas dan kopiah. Suasana di bandara sangat menegangkan karena banyak senjata yang siap sedia setiap saat ditembakkan dan bisa dengan mudah merontokkan pesawat terbang.

Perjalanan makin menegangkan karena melewati daerah berbahaya yang disebut sniper valley, ’lembah penembak runduk’, sebuah lembah yang penuh dengan penembak jitu dari kedua pihak yang bertikai. Rombongan presiden berhasil melewati lembah dan tiba di Istana Kepresidenan Bosnia. Kondisi istana berantakan kurang terurus karena perang.

Kunjungan Soeharto tidak serta-merta menghentikan konflik. Namun, Pak Harto mengatakan bahwa dirinya ingin memberikan dorongan moral kepada Presiden Alija Izetbegovic supaya tatag dalam menghadapi konflik. Perang etnis itu akhirnya berhenti pada awal 2000 atas campur tangan PBB.

Konflik Rusia-Ukraina beda dengan perang Balkan, tetapi ada kesamaan dalam hal bisa berkembang menjadi perang skala penuh. Amerika Serikat dan sekutunya, NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara), tahu betul kekuatan Rusia. Karena itu, Amerika Serikat dan sekutunya tidak berani ikut terjun dalam perang terbuka menghadapi Rusia.

Kunjungan Jokowi tidak akan serta-merta membawa perdamaian. Namun, sebagai pemimpin kepresidenan G20, Indonesia harus memberikan dukungan moral kepda Ukraina dan membujuk Rusia untuk menghentikan agresinya.

James Bond bisa menyelesaikan misi Rusia dengan sukses dan pulang membawa perdamaian dan cinta, ”From Russia with Love”. Jokowi tentu juga berharap bisa menyelesaikan misi Rusia dan pulang membawa perdamaian. Kalau tidak bisa membawa perdamaian, setidaknya ada investasi yang bisa dihasilkan dari lawatan itu, ”from Russia with cuan…”. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: