Serunya Gowes dari Mojokerto ke Lautan Pasir Bromo
PENULIS berdiri di atas tonggak pembatas dengan Gunung Bromo sebagai latar belakang. Bersama teman-teman, ia bersepeda ke Bromo dari Mojokerto pada 19 Juni 2022.-Slamet Mulyanto untuk Harian Disway-
Oleh:
Slamet Mulyono
Traveler asal Sidoarjo
DARI rumah saya di Balongbendo, Sidoarjo, saya gowes ke Mojokerto pada Sabtu pagi (18/6). Menginap semalam di rumah kerabat. Esok harinya, Minggu (19/6), saya ada janji berkumpul di alun-alun Kota Mojokerto. Bersama komunitas pesepeda Feds Mokers. Kami adalah komunitas penggemar sepeda Federal.
Pukul tujuh pagi, pada waktu yang dijanjikan, saya tiba di alun-alun Mojokerto. Total ada sepuluh orang pesepeda yang datang dari berbagai kota. Dda yang dari Surabaya, Sidoarjo, Jombang, dan lain-lain.
Tujuan kami hanya satu: ber-gowes ria ke Gunung Bromo di Pasuruan. Jaraknya dari Mojokerto, bila ditinjau di Google Maps, sekitar 25 kilometer. Lumayan, bukan? Jika naik mobil atau motor mungkin tak begitu terasa. Tapi kami bersepeda. Pasti cukup bikin njarem.
Selain karena menggemari sepeda Federal, kami juga rutin gowes karena telah merasakan manfaatnya bagi tubuh. Gowes dapat meningkatkan kekuatan otot, mengontrol berat badan, menjaga kesehatan jantung, menstabilkan kadar gula, menurunkan risiko depresi, menjaga imun, dan sebagainya. Pendeknya, sehat itu katanya mahal. Tapi dengan gowes, bisa murah, kok. Paling yang agak mahal beli sepedanya. Hehehe...
Setelah berkumpul, minum kopi dan bersiap-siap, pukul delapan kami berangkat. Melewati jalan raya, jalan sempit perkampungan, terus melaju dan beberapa kali berhenti untuk beristirahat. Terutama ketika tiba waktu salat. Kemudian kami kembali melanjutkan perjalanan hingga tak terasa hari mulai sore.
SLAMET MULYONO dan teman-teman dari komunitas Feds Mokers berfoto bersama di depan Gunung Bromo. -Slamet Mulyono untuk Harian Disway-
Matahari telah mengantuk. Menyandarkan diri di bahu Bromo yang telah terlihat jelas. Azan magrib berkumandang. Kami beramai-ramai singgah di sebuah masjid di Kota Pasuruan. Meski beraktivitas, jangan lupa ibadah, dong.
Usai salat dan meluruskan kaki sejenak, kami kembali ngontel. Hari telah malam. Asyiknya bersepeda di jalur menuju Bromo adalah rute jalan yang meliuk-liuk. Kadang landai, kadang menukik atau menanjak. Namun tak terlalu tajam. Apalagi pemandangan sekitar sangat indah. Ketika malam, lampu-lampu rumah penduduk dan permukiman di areal Bromo terlihat berkelap-kelip. Seperti kunang-kunang.
Tak terasa, waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Kami tiba di pendapa Wonokitri di daerah Tosari, Bromo. Pendapa yang kerap menjadi jujukan para wisatawan sebelum melanjutkan pendakian. Kami bersepuluh beristirahat di pendapa itu. Bermalam bersama. Capek memang. Tapi asyik.
Pukul setengah lima pagi, kami bangun. Menunaikan kewajiban salat subuh. Air di daerah pendapa dingin. Maklum, daerah gunung. Tapi dinginnya air yang membasuh wajah, kaki, lengan, dan telapak tangan itu membuyarkan kantuk. Kami jadi segar. Bersiap-siap lagi melanjutkan perjalanan.
Pukul enam pagi, saya dan kawan-kawan lain sudah duduk di atas sepeda. Mengayuh sedikit demi sedikit. Rute terus naik, memutar, hingga sampai di kawasan Lautan Pasir Bromo.
Kami memarkir sepeda dan duduk di hamparan pasir Bromo. Saat itu, matahari mulai beranjak naik. Seperti kami, lampu semesta itu sudah terbangun dari tidur. Ia menyembul dengan memunculkan bias jingga di langit sekitarnya. Eksotis!
SEPEDA Slamet Mulyono berdiri gagah di depan lautan pasir Bromo yang megah. -Slamet Mulyono untuk Harian Disway-
Kawasan Gunung Bromo memang merupakan satu-satunya taman nasional yang memiliki lautan pasir. Salah seorang kawan menerangkan, lautan pasir terbentuk karena adanya dua gunung saling berhimpitan. Kemudian terjadi letusan kecil yang menyebabkan materi vulkanik terlempar hingga membentuk lembah besar dan kaldera. Karena kaldera yang tercipta sangat dalam, maka materi vulkanik dari letusan setelahnya terbenam hingga menumpuk. Memadat, sampai menjadi lautan pasir.
Saya meraih tas. Mengeluarkan sebotol minuman yang telah jadi dingin akibat suhu pegunungan. Ketika diminum, tenggorokan rasanya lega sekali. Angin semilir meniup pasir. Beterbangan, menciptakan asap debu. Beberapa orang mengendarai kuda tampak asyik dengan kegiatannya. Mereka hendak ke puncak Bromo.
Setelah puas menikmati Lautan Pasir, kami beranjak menuju Bukit Teletubbies. Saya sempat memotret sepeda dengan latar bukit tersebut. Tampak sangat artistik. Apalagi sepeda saya berada di rute berpasir yang masih menjadi bagian dari Lautan Pasir. Jadi kontras. Satu sisi pasir, kemudian di sampingnya terdapat bukit yang hijau. Alam memang menyediakan fenomena unik.
BUKIT TELETUBBIES Bromo tampak cantik dari tempat Slamet Mulyono memarkir sepeda. -Slamet Mulyono untuk Harian Disway-
Salah seorang kawan memanggil saya. Ia dan delapan orang lain menepikan sepeda masing-masing, kemudian disandarkan pada tiang-tiang kecil pembatas. Salah seorang dari mereka berdiri di atas satu kaki, kemudian merentangkan tangan. Kaki satunya berada di sadel sepeda. Dari kejauhan, tiang itu tak tampak wujudnya karena tertutup bodi sepeda.
Hasil fotonya jadi keren. Teman itu seperti berdiri di atas sepeda dengan hanya menapakkan kakinya di sadel. Tentu saja, pose itu langsung ditiru yang lain. Ternyata, semangat berfoto masih sebesar semangat kami mengayuh sepeda! (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: