Kisah Sedih dari Ponpes di Jombang

Kisah Sedih dari Ponpes di Jombang

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

Seumpama Herry Wirawan, 37, adalah Mas Bechi, 42, mungkin ia tidak sampai dihukum mati. Mungkin dihukum seumur hidup. Atau beberapa tahun saja. Sebab, santri Mas Bechi sangat solid. Sampai diangkut polisi tiga truk.

DI situ jelas, bahwa hukum bersifat relatif. Bagai bumi-langit. Relatif terhadap siapa hukum diterapkan. Kalau orangnya berstatus rendah, bumi. Kalau tinggi, langit.

Barrett McGurn dalam bukunya, Slogans to Fit the Occasion (1982), menyebutkan, kata equal justice under law sudah ditempel dalam bentuk ukiran di pintu gerbang gedung Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) pada 1932 oleh firma arsitektur yang merancang bangunan tersebut.

Tepatnya, di atas pintu gerbang gedung Mahkamah Agung itu. Sebagai prasasti.

Prasasti itu terpasang atas persetujuan hakim Charles Evans Hughes dan hakim Willis van Devanter. Sebab, menurut mereka, semua orang seharusnya sama di mata hukum. Prasasti itu sudah betul.

Namun, setelah prasasti terpasang, timbul perbedaan pendapat. Banyak yang tidak setuju. Dalam pikiran mereka yang tidak setuju, membayangkan, ”Masak sih, orang kulit hitam diperlakukan sama (di mata hukum) dengan orang kulit putih?”

Barrett McGurn (19142010) mantan jurnalis, kemudian jadi juru bicara Mahkamah Agung AS (19731982).

Ia mencatat pergulatan beda pendapat di zaman itu. Soal prasasti itu. Dituangkan di buku Slogans to Fit the Occasion. Akhirnya, prasasti itu tetap ada sampai sekarang. Sudah 90 tahun.

Penerapan slogan hukum equality before the law sudah jadi perdebatan sejak hampir seabad lalu. Di AS. Penerapannya pasang-surut. Sampai kematian George Floyd di tangan polisi kulit putih, 2020.

Di Indonesia, UUD 1945 Pasal 27 ayat 1, isinya: ”Semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum....”

Tapi, dalam praktiknya pasang-surut. Bersifat relatif.

Jadi, apabila nasib Herry Wirawan dengan Mas Bechi (Mochamad Subchi Azal Tsani) tidak sama, meski kasusnya mirip (dugaan pemerkosaan terhadap santriwati), adalah wajar. Karena penerapan hukum bersifat relatif.

Mas Bechi warga Desa Losari, Kecamatan Ploso, Jombang, Jatim. Ia pengasuh Pondok Pesantren Shiddiqiyyah milik ayahnya di Jombang. Konstruksi perkara secara ringkas, berdasar liputan pers, begini:

Pada 2017 Mas Bechi diduga mencabuli santriwati. Korban menceritakan, modus Mas Bechi melakukan seleksi tenaga kesehatan untuk klinik milik Mas Bechi. Banyak santriwati yang ikut seleksi.

Diduga, di situlah awal persoalan.

Pada 2018, terbukti. Ada santriwati yang melapor ke Polres Jombang. Laporan dugaan pencabulan, pemerkosaan, kekerasan seksual terhadap tiga santriwati.

Oktober 2019, Polres Jombang menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Artinya, laporan sudah disidik. Lalu distop. Sebab, polisi Polres Jombang menganggap, tidak ada bukti lengkap.

Januari 2020 penyidikan dilanjutkan, tapi diambil alih Polda Jatim. Tepatnya, Ditreskrimum Polda Jatim. Lantas, Bechi ditetapkan sebagai tersangka.

Bechi tidak ditahan. Juga, selalu mangkir ketika dipanggil Polda Jatim untuk pemeriksaan. Sesuai KUHAP, jika tersangka tidak hadir setelah dipanggil tiga kali, harus dijemput paksa. Tapi, waktu itu tersangka tidak dipanggil paksa.

Dirreskrimum Polda Jatim (saat itu) Kombes Pitra Ratulangi, kepada wartawan, Rabu, 22 Januari 2020, mengatakan bahwa para korban pemerkosaan justru ketakutan.

Kombes Pitra: ”Tersangka pencabulan membujuk pelapor (korban). Dengan cara, korban dibujuk rayu akan dijadikan istri kalau mau mencabut laporan.”

Sabtu, 15 Februari 2020, polisi melakukan jemput paksa terhadap Bechi. Tapi gagal. Sebab, Bechi dilindungi ratusan santrinya. Dengan cara menghadang dan melawan polisi yang hendak menjemput.

Hal itu dikatakan Kabidhumas Polda Jatim (waktu itu) Kombes Trunoyudo Wisnu kepada pers, Senin, 17 Februari 2020. Tim polisi penjemput tersangka terpaksa mundur.

Kombes Trunoyudo: ”Saya tekankan di sini, penyidik melakukan tindakan berdasarkan amanah undang-undang secara prosedur dan profesional. Memang nggak ada penyerangan, kita meminimalkan korban. Kita penegakan hukum, tapi terukur. Kita penegakan hukum, tetapi juga dilihat dari aspek-aspek kemanusiaan, juga aspek-aspek secara humanis. Arti humanistis ini dengan mengurangi risiko yang terjadi.”

Intinya, jemput paksa yang pertama itu gagal.

Soal status tersangka, Bechi sempat bicara, melalui video yang dibagikan pada Rabu, 29 Januari 2020.

Bechi di video: ”Kebetulan saya nggak tahu (belum pernah) ketemu aja sama orangnya lho, orang-orang polisi itu lho, nggak pernah saya itu (ketemu), kok dibilang tersangka, itu dari mana?”

Ucapan itu bisa ditafsirkan, begini: menurut persepsi Bechi, seseorang harus ketemu polisi dulu, barulah bisa berstatus tersangka.

Maka, Bechi melakukan perlawanan hukum. Mengajukan praperadilan. Menggugat Polda Jatim. Sebab, Bechi ditetapkan sebagai tersangka. Gugatan dilayangkan ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Pada 23 November 2021, Bechi mendaftarkan praperadilan. Terdaftar nomor 35/Pid.Pra/2021/PN Sby.

Kamis, 16 Desember 2021, hakim PN Surabaya Martin Ginting membacakan putusan di persidangan, begini:

”Mengadili, bahwa secara formil permohonan praperadilan pemohon Mas Bechi tidak dapat diterima. Menimbang bahwa permohonan pemohon kurang pihak. Sebab, peristiwa hukumnya terjadi di Polres Jombang.”

Di PN Surabaya, ditolak. Bechi mengajukan praperadilan ke PN Jombang. Sama, menggugat Polda Jatim atas status Bechi sebagai tersangka.

Hakim praperadilan PN Jombang Dodik Setyo Wijayanto menolak permohonan Bechi. Dodik memutuskan, proses polisi menetapkan Bechi sebagai tersangka sudah tepat dan sah menurut hukum.

Pada 2021 berkas perkara yang dikirimkan ke kejaksaan, bolak-balik, tujuh kali ditolak jaksa.

Menanggapi sikap jaksa, Kasubdit Renakta Ditreskrimum Polda Jatim Kompol Hendra Eka Triyulianto mempertanyakan sikap kejaksaan. Hendra lalu membandingkan dengan kasus serupa terhukum Herry Wirawan di Bandung yang cepat beres.

Kompol Hendra kepada pers, Jumat, 17 Desember 2021, mengatakan begini:

”Ini kan lagi ramai-ramainya (kasus pencabulan di pesantren, terdakwa Herry Wirawan). Tapi, kenapa kok cuma di Jawa Timur ini saja yang lambat. Di Jabar (kasus Herry Wirawan) ini kok cepat P-21-nya. Kok ini sampai tujuh kali ditolak.”

Kompol Hendra melihat relativitas penerapan hukum. Antara di Jatim dan Jabar.

Pada 6 Januari 2022 Bechi masuk DPO (daftar pencarian orang). Kabidhumas Polda Jatim (yang baru) Kombes Gatot Repli Handoko mengatakan ke pers, kasus itu menjadi atensi Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta. Untuk itu, pihaknya akan melakukan proses tahap kedua secepatnya.

Dilanjut oleh Dirreskrimum Polda Jatim Kombes Totok Suharyanto kepada pers, Jumat, 14 Januari 2022, mengatakan: Akhirnya, perkara dengan tersangka Bechi dinyatakan lengkap atau P-21 oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, pada 4 Januari 2022.

Artinya, semua proses hukum sejak 2017 sudah dilewati. Dua kali praperadilan pun sudah dilewati. Bechi tersangka. Kasusnya P-21, yang artinya, berkas perkara sudah dinyatakan bisa diadili pihak kejaksaan.

Tinggal tersisa satu: Bechi sebagai tersangka harus diperiksa di Polda Jatim. Untuk itu, harus dijemput paksa.

Ternyata, sisa satu inilah yang sulit dilaksanakan Polri. Sampai dengan Kamis malam, 7 Juli 2022, belum terlaksana. Sudah diupayakan Polri, tapi belum terwujud.

Kabidhumas Polda Jatim Kombes Dirmanto kepada pers di Ponpes Shiddiqiyyah, Kamis, 7 Juli 2022, mengatakan, Bechi dilindungi ratusan santrinya. Lalu, polisi mengangkut simpatisan Bechi itu sebanyak tiga truk.

Dirmanto: ”Kami sempat memilah-milah mereka yang sudah kami angkut sebanyak tiga truk. Belum kami data jumlahnya.”

Perkara hukum itu jadi perhatian nasional. Semua mata tertuju ke sana. Perjalanan perkara yang terbuka jelas buat publik. Masyarakat menilai kasus itu.

Saya membayangkan, makin keras suatu perkara hukum yang sah dilawan, makin dalam kerugian pihak yang melawan. Sebab, perkaranya terpublikasi luas. Terbuka. Yang berarti Polri tidak mungkin mundur, dalam arti membatalkan perkara. Tidak mungkin.

Efek yang lebih besar lagi adalah sejarah. Perkara itu bakal terekam di jejak digital. Tak terhapuskan.

Juga di cerita mulut ke mulut warga. Di Kota Santri Jombang. Tak terlupakan turun-temurun. Kisah sedih ini. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: