Fikih Keuangan Global

Fikih Keuangan Global

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

BANK Syariah Indonesia (BSI) go global. Tahun ini hasil merger tiga bank syariah BUMN tersebut fokus menggarap pasar  Dubai, Uni Emirat Arab (UEA). Itu sebagai langkah awal menjadi top 10 Global Islamic Bank pada 2025. Dubai dipilih karena merupakan pusat keuangan syariah dunia.

Langkah memasuki pasar internasional tersebut tak lepas dari kinerja luar biasa BSI. Setahun setelah merger, BSI telah mencatatkan aset Rp 271,3 triliun (triwulan I 2022). Di triwulan pertama 2022 ini, BSI juga telah membukukan laba Rp 987 miliar. Naik 33,18 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Langkah BSI go international tersebut tentu tidak mudah. Salah satunya terkait akad atau kontrak di perbankan syariah global. Itu tak lepas dari mazhab, fikih, atau kesesuaian syariah (sharia comply) pada bank syariah di berbagai negara yang berbeda-beda. Belum ada akad atau kontrak syariah standar internasional yang berlaku sama di negara-negara di dunia ini.

Sebenarnya sudah ada suatu standar akad syariah yang bisa diacu dan diterapkan secara sama di dunia. Itulah standar yang dibuat AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution). Organisasi internasional Islam nonbadan hukum nirlaba yang merumuskan standar dan isu-isu terkait akuntansi, audit, pemerintahan, etika, dan standar syariah Islam untuk lembaga keuangan Islam (IFI).

AAOIFI yang didirikan pada 1991 adalah  organisasi internasional yang independen. Lembaga itu berkedudukan di Bahrain dan didukung sekitar 200 anggota dari 40 negara. Termasuk Bank sentral, lembaga keuangan syariah, dan anggota lainnya dari industri perbankan syariah di seluruh dunia.

AAOIFI telah menerbitkan 88 standar. Itu berupa 26 standar akuntansi, 5 standar auditing, 7 standar governance, 2 standar etika, dan 48 standar syariah. Namun, tidak semua standar itu diterapkan otoritas di negara-negara yang mengatur lembaga keuangan syariah.

Bahrain, Oman, Pakistan, Sudan, dan Suriah, misalnya. Mereka menjadikan standar syariah dan standar akuntansi AAOIFI sebagai bagian dari peraturan yang wajib diterapkan (mandatory regulatory). Begitu juga Islamic Development Bank (IDB), mengadopsi secara penuh.

Namun, Indonesia dan Malaysia hanya menjadikan standar syariah dan standar akuntansi AAOIFI sebagai dasar pedoman dalam penyusunan standar syariah dan standar akuntansi syariah. Bahkan, Brunei Darussalam, Dubai, Mesir, Prancis, Kuwait, Lebanon, Arab Saudi, Afrika Selatan, Uni Emirat Arab, dan Inggris hanya menerapkan standar AAOIFI secara sukarela (voluntary) bagi lembaga keuangan syariah. Begitu juga negara-negara di Afrika dan Asia Tengah.

Sikap yang berbeda dalam memosisikan standar yang dibuat AAOIFI itu membuat akad yang digunakan di berbagai negara berbeda satu sama lain. Indonesia dan Malaysia, misalnya. Ada akad-akad yang digunakan di Malaysia, tetapi terlarang dipraktikkan di Indonesia. Begitu juga sebaliknya.

Salah satu contohnya adalah akad tawarruq di Malaysia. Saat ini tawarruq menjadi akad yang dominan dalam pembiayaan komersial di Malaysia. Jual beli yang melibatkan tiga atau empat pihak itu menggantikan akad bai al-’inah yang kini sudah mulai ditinggalkan. Di Indonesia, bai al-’inah dan tawarruq tidak diperkenankan dalam pembiayaan komersial.

Akad yang digambarkan dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI No 82 itu hanya boleh dipraktikkan dalam kasus khusus. Hanya ketika ada bank syariah yang kekeringan likuiditas dan membutuhkan pinjaman” dari bank syariah lain. Artinya, hanya dalam keadaan darurat yang bisa mengancam keberadaan bank syariah jika tidak memperoleh suntikan dari bank syariah lain.

Standardisasi akad secara internasional sangat penting bagi bank syariah yang juga beroperasi di negara lain. Saat berbeda, misalnya, operasional bank syariah di luar negeri mengikuti standar akad yang mana. Dari negara asal atau negara tempat bank syariah beroperasi? Hal-hal seperti itu harus dihilangkan saat bank syariah dari berbagai negara juga go global.

Menstandarkan akad syariah secara global tentu tidak mudah. Sama tidak mudahnya menyamakan fikih bagi kaum muslimin di Indonesia. Kita, misalnya, belum bisa menyamakan standar penentuan pergantian bulan. Yang membuat awal puasa Ramadan, Idulfitri, atau Iduladha sering berbeda. Begitu pula standar bacaan Al-Fatihah, perlu-tidaknya  membaca kunut pada salat Subuh, dan sebagainya.

Meski begitu, menstandarkan akad secara internasional jauh lebih sederhana. Sebab, pelaksanaan akad atau kontrak di lembaga keuangan syariah diawasi otoritas. Di bank syariah, misalnya, ada dewan pengawas syariah (DPS) dan OJK. Sebagai regulator dan pengawas  lembaga keuangan, OJK menetapkan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi bank syariah. DPS mengawasi kesesuaian syariah operasional, terutama akad-akad, di bank syariah.

Jika OJK mengadopsi standar-standar AAOIFI, dengan tetap mempertimbangkan fatwa DSN MUI, akad atau kontrak pada bank syariah Indonesia akan sama dengan akad bank syariah di negara-negara lain di dunia ini. Wallahu a’lam. (*)

 

*) Dosen ekonomi syariah pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: