Keserakahan Perbankan
-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-
BANK-BANK besar mencatat lonjakan laba fantastis pada semester I 2022. Bank BRI mencatat kenaikan laba 98,38 persen menjadi Rp 24,56 triliun dalam enam bulan. Laba bersih Bank Mandiri juga melonjak 61,7 persen (Rp 20,2 triliun). Begitu juga BCA dan BNI yang laba bersihnya naik 24,9 persen dan 75 persen. Hingga semester I, laba BCA mencapai Rp 18 triliun dan BNI Rp 8,8 triliun.
Dari kacamata bisnis, lonjakan laba itu menunjukkan bahwa sektor perbankan telah pulih setelah dua tahun dihantam pandemi. Kinerja dari sisi aset, dana pihak ketiga (DPK), kredit, hingga pembiayaan bermasalah (NPL) menunjukkan peningkatan luar biasa. Bahkan, lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum pandemi Covid-19.
Bagi bank-bank BUMN, kinerja itu juga menunjukkan keberhasilan transformasi dari proses bisnis hingga digitalisasi. Bank-bank BUMN memiliki ceruk pasar sendiri dan tidak berebut pasar secara langsung karena memiliki segmen sendiri-sendiri. Jadinya, bank-bank BUMN juga lebih efisien sehingga berdampak pada laba bersih yang meningkat signifikan.
Menteri BUMN Erick Tohir memang melakukan refocusing bank-bank Himbara. BRI, misalnya, fokus pada pembiayaan UMKM dan masyarakat perdesaan. Bank Mandiri menggarap sektor korporat dan BNI pada pasar internasional dengan fokus pada diaspora dan sektor ekspor-impor. Sementara itu, BTN fokus pada pasar yang sangat dikuasainya, sektor perumahan.
Dengan keberhasilan tersebut, tentu negara berharap bisa memperoleh dividen dari bank-bank BUMN yang jauh lebih besar daripada tahun lalu. Tahun 2021, kelompok bank BUMN menyumbang dividen Rp 24,56 triliun. Setoran dividen itu akan membantu menutup defisit APBN yang dalam dua tahun ini sangat tinggi akibat pandemi.
Misi Sosial BUMN
Meski dari sisi kinerja sangat membanggakan, jika dilihat dari perspektif lain, kenaikan laba bersih bank-bank BUMN itu memprihatinkan. Sebab, melihat performanya, kenaikan laba yang luar biasa tersebut sekaligus menunjukkan bahwa net interest margin (NIM) atau pendapatan bunga bersih bank-bank besar itu juga meningkat.
Bank BRI, misalnya, NIM bank yang fokus pada pembiayaan UMKM dan pembiayaan di perdesaan itu naik dari 7,02 persen menjadi 7,35 persen. Begitu juga NIM Bank Mandiri, naik 32 basis poin menjadi 5,37 persen. Sementara itu, NIM BNI di angka 4,5 persen.
Sebagai lembaga intermediasi –perantara antara surplus unit dan deficit unit– NIM yang tinggi itu mengindikasikan bahwa bank menikmati spread atau keuntungan yang sangat besar. Artinya, bank menikmati keuntungan yang terlalu tinggi. Itu bisa dimaknai bahwa bank menetapkan bunga kredit terlalu tinggi atau bunga simpanan yang terlalu rendah. Selisih antara bunga simpanan dan bunga kredit terlalu besar.
Memang, dalam kondisi ekonomi yang belum benar-benar pulih, bisa jadi banyak nasabah menyimpan uang dalam bentuk tabungan atau giro dengan bunga sangat rendah. Nasabah, baik perseorangan maupun korporasi, masih menahan dananya sambil menunggu perkembangan perekonomian. Itu bisa dilihat dari komposisi dana murah –tabungan dan giro– yang meningkat di perbankan.
Secara umum, bunga kredit dihitung didasarkan atas biaya dana tertimbang (cost of loanable fund) ditambah overhead cost, premi risiko, dan margin yang ditetapkan bank. Tampaknya, perbankan melihat risiko yang masih tinggi sehingga menetapkan premi risiko cukup tinggi. Akibatnya, bunga kredit masih cukup tinggi di saat bunga simpanan sangat murah.
Betapa serakahnya bank-bank besar itu bisa kita bandingkan dengan perbankan di negara-negara tetangga. Di Asia Tenggara, misalnya. Tengok saja dari Thailand, NIM tiga bank terbesar di negara itu berdasarkan data Bloomberg hanya di bawah 2,6 persen. Pada 2021, NIM tertinggi dicatatkan oleh Kasikornbank. Itu pun, NIM-nya hanya 2,57 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: