Para Penampil dalam Gelar Koreografer 2022 (2); Kesadaran Ruang yang Global

Para Penampil dalam Gelar Koreografer 2022 (2); Kesadaran Ruang yang Global

Karya koreografer asal Solo Agus Mbeendol berjudul Anjasmara yang merupakan bentuk cara pandang si koreografer terhadap keperempuanan. Berbasis kisah epik Jawa Kuno.--

Gelar Koreografer 2022 hari pertama pada 5 Agustus, dipungkasi dengan karya Agus Mbeendol. Ia membawakan karya Anjasmara. Pada hari kedua, Patry Eka Prasetya, koreografer asal Sidoarjo, membawakan karya berjudul Tanah Kenangan.

Pada bagian awal pementasan, koreografer asal Solo Agus Mbeendol, menghipnotis penonton.

Ketika sorot lampu menyinari bagian tengah panggung, tampak tirai samar. Seperti tirai anti-nyamuk yang digunakan untuk menutup ranjang tidur. Melingkar pada seluruh ruang. Ranjang kecil dan seorang perempuan.

Dia berjalan berputar-putar dengan tatapan kosong. Seolah sedang kebingungan. Tanpa suara. Menghadap ke belakang selama beberapa saat. “Karya saya berjudul Anjasmara. Tentang apa yang dilakukan sosok tersebut ketika sendiri. Menanti kekasihnya, Damarwulan yang sedang pergi berperang,” ujarnya.

Ketika seseorang sedang sendiri, justru saat itulah dia menampakkan karakter asli. Apalagi jika dirundung penantian terhadap kekasih yang dirindukan. Sedih, gelisah, seperti ketika aktor tersebut bergerak tak menentu dengan ekspresi sedih.

Marah, kecewa, mengutuk kekasihnya yang memilih pergi berperang dan meninggalkannya. Dia mengambil sebatang lidi panjang. Dihunuskan ke segala arah dengan ekspresi marah. Batang lidi memecah angin menimbulkan suara desing. Membuyarkan keheningan. Seolah ingin ikut berperang di sisi Damarwulan. Tapi apa daya, Anjasmara sosok perempuan biasa.


Aktor yang diperankan Retno Sulistyorini, istri Agus itu tampak menuliskan sesuatu di dinding dengan lidi. Tak ada kata atau kalimat yang tergores. Seperti ingin berkata-kata, namun tak ada satu pun yang terlontar.

Di bawah, terlihat beberapa lampu sorot kecil yang sinarnya temaram bak lampu minyak. Perempuan itu menatap sembari menyentuh tirai transparan itu. Tatapannya kosong. Menunggu. Semuanya seperti serba tak pasti. Apakah Damarwulan kembali atau mati.

Dalam pementasan itu, Agus mengeksplorasi gerak tubuh sebagai interpretasi tentang perempuan. Khususnya ketika sedang sendirian. Di ruang kecil tanpa ada siapa pun. “Tubuh dan ruang menjadi sekumpulan imajinasi. Ketika sedang sendiri, maka seseorang akan bertindak jujur. Memunculkan karakter asli dirinya.

Begitu pun dengan Anjasmara. Ditinggal Damarwulan dalam sendiri, dia tentu memunculkan sifat asli keperempuanannya. “Singkatnya, Anjasmara merupakan bentuk cara pandang saya terhadap keperempuanan. Berbasis kisah epik Jawa Kuno,” tambah pria 41 tahun itu.

Apalagi dalam kisah Damarwulan, Anjasmara merupakan seorang perempuan yang terpaksa ditinggalkan oleh Damarwulan. Karena ia berhasil mengalahkan Raja Menakjingga dari Blambangan atas perintah Ratu Kencana Wungu.

“Ratu Kencana Wungu berjanji. Siapa saja yang mengalahkan Menakjingga, bila ia lelaki, akan diangkat sebagai suaminya. Saat itulah dilema terjadi di hati Anjasmara yang sedang sendiri,” terangnya. Dalam kesendirian itulah berbagai macam ekspresi tampak di wajah aktor. Begitu juga segala gerak dan tindak-tanduknya dalam ruang kamar itu.

Basic Agus berasal dari keilmuan teater. “Prinsip dasar teater jadi pegangan saya dalam mengolah karya-karya koreografi. Saya juga begitu memperhatikan ruang pementasan. Latar harus ditata dengan maksimal. Karena tubuh dan gerak tari takkan bermakna apabila aktornya tak punya kesadaran akan ruang,” ungkap pria yang tinggal di Karanganyar, Jawa Tengah itu.

Proses pengerjaan karya Anjasmara berlangsung selama dua bulan, dan di antara para penampil, baik hari pertama maupun hari kedua, alumnus ISI Surakarta itu adalah satu-satunya koreografer yang menempatkan latar sebuah ruangan. Anjasmara memungkasi Gelar Koreografer 2022 pada hari pertama. Dengan Anjasmara, Agus memungkasi hari pertama Gelar Koreografer 2022.


Party: Karya Patry Eka Prasetya, penampil asal Sidoarjo, yang menggebrak dalam judul Tanah Kenangan. Ia merespons kondisi alam dan lingkungan, yang terinspirasi dari lingkungan tempat tinggalnya di Sidoarjo.

Pada hari kedua, 6 Agustus 2022, Patry Eka Prasetya unjuk karya. Penampil asal Sidoarjo itu menggebrak dengan karya berjudul Tanah Kenangan.

Ia merespons kondisi alam dan lingkungan, yang terinspirasi dari lingkungan tempat tinggalnya. “Kondisi lingkungan akan berpengaruh langsung terhadap kondisi manusia. Namun ketika manusia mulai mengejar kualitas hidup, di situlah mereka mulai merusak alam,” ungkapnya.

Ketika tirai panggung dibuka, Patry berbaring di bawah sebuah kincir air. Ia menggerak-gerakkan jemarinya. Kincir itu sebagai bentuk pemanfaatan lingkungan untuk energi listrik. “Inspirasi berasal dari kincir air yang ada di tambak daerah Sedati, Sidoarjo. Dekat dengan rumah saya,” ungkapnya.

Kincir digunakan sebagai simbol perputaran waktu. Kehidupan yang dinamis dan terus melaju. Ia berdiri dan memutar gagang kincir itu. Kemudian berguling ke kanan dan kiri. Patry melakukan gerakan melompat dengan pose berjongkok. Bertumpu pada telapak kaki dengan lutut sama-sama menghadap ke depan.

Dari lompatan yang konstan itu, mengesankan seperti Patry memunculkan gelombang protes warga yang berbondong-bondong datang. Menyuarakan kerusakan lingkungan.

Kemudian ia berdiri tegap lalu tertunduk layu. Ia melingkarkan kedua tangan. Seperti sedang memegang benda bulat berukuran besar. Ekspresinya sayu. Namun sesekali kedua tangan itu digerakkan seperti gerakan membelai. Seakan mengimbau semua orang agar manusia hendaknya menjadi pengayom bumi. Merawat dan melestarikan alam.


Ia mengambil payung lebar yang tergeletak di sisi kanan panggung. Lalu bergerak ke ujung panggung, memutar-mutarkan payung itu. Arah putarannya tak selalu senada. Kadang ke kiri, kadang ke kanan. “Manusia juga berusaha memperlakukan bumi seenaknya sendiri. Demi kepentingannya. Saya maknai dengan perputaran payung itu,” terang pria yang berdomisili di Gemurung, Sidoarjo itu.

Putaran payung dan sorot lampu yang meredup, fade out, karyanya dipungkasi. Lewat Tanah Kenangan, kita diajak berkaca tentang kesadaran ruang dari lingkungan Sidoarjo dengan lumpur Lapindo yang diolahnya menjadi tema lingkungan secara global. (*)

Indeks: Sari Kembang Fahmida dan Nosheheorit Otniel, baca selanjutnya...

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: