Bertiga Mengunjungi Candi Prambanan, Cukup Rp120 Ribu

Bertiga Mengunjungi Candi Prambanan, Cukup Rp120 Ribu

Candi Prambanan berdiri kokoh di tanah seluas 80 hektar ini kian oke jadi tujuan wisata.--

Jalan-jalan ke Yogyakarta, sayang seribu sayang rasanya jika melewatkan Candi Prambanan. Candi Hindu terbesar di Indonesia tersebut hingga kini masih menawarkan sejuta pesona. Sebagai warisan leluhur peradaban Nusantara. 

Saya tak habis pikir. Bagaimana nenek moyang Nusantara dulu bisa menyusun batuan andesit, membentuk bangunan segede gaban. Dengan arsitektur yang rumit. Belum lagi arca-arca dan relief yang mesti diukir dengan waktu yang sangat lama. Tapi itulah wujud keagungan dan peradaban leluhur kita. Yang mungkin tak bisa disamai oleh bangsa mana pun di dunia ini.

Candi Prambanan. Saya berkunjung untuk kesekian kalinya di candi bercorak Siwaistis tersebut. Tepatnya pada 24 Juli 2022 lalu. Bersama suami dan anak perempuan saya. Selain untuk refreshing, kegiatan tersebut adalah untuk memenuhi hasrat memotret suami saya. Maklum, suami saya adalah seorang fotografer yang katanya kawakan. Semua hal yang menarik dan unik, tak dapat lepas dari bidikan kameranya. Kecuali saya dan anak saya. Jarang dia mau memfoto kami berdua. Entah mengapa.

Akses menuju Prambanan cukup mudah. Setelah turun dari Stasiun Tugu, menginap semalam dan berjalan-jalan di Malioboro, esok pagi kami berangkat menuju candi tersebut. Menggunakan ojek online. Jaraknya sekitar 16 kilometer dari Malioboro. Kira-kira kami menghabiskan waktu hampir satu jam sebelum sampai di candi megah dengan tiga bangunan utama tersebut.

Lantai kompleks candi berupa pasir lembut yang halus. Saya dengan anak sibuk mengamati relief yang ada dalam bangunan Candi Siwa sebagai candi terbesar. Sedangkan suami saya sudah keluyuran, mencari angle yang tepat. Beberapa wisatawan domestik dan mancanegara juga ada di sana. Setelah lama ditutup cukup lama karena pandemi, industri pariwisata di Yogyakarta kini hidup lagi.


Pengunjung asyik berselfi dengan latar belakang Candi Prambanan untuk menghasilkan foto yang indah. -JULIAN ROMADHON/Harian Disway-

Beberapa wisatawan tampak menggunakan jasa guide. Dasarnya saya suka gratisan, daripada harus bayar guide, mending mengikuti para wisatawan tersebut. Sambil curi-curi dengar. Saat itu guide menuntun kami ke dalam bangunan candi Siwa. Melihat salah satu arca yang terkenal dalam berbagai folklor tanah air: Patung Roro Jonggrang.

Menurut guide, sebenarnya penamaan Roro Jonggrang didasarkan dari cerita rakyat yang berkembang saja pada masanya. Namun patung tersebut sejatinya adalah patung Durga Mahisasuramandini. Cakti atau istri Dewa Siwa yang berada di bilik candi bagian utara. "Dulu ada cerita, ketika Belanda menemukan candi ini, mereka melihat patung itu hidup. Seperti perempuan cantik yang tersenyum. Karena takut, beberapa di antara mereka lari ke bawah," ungkap guide tersebut.

Setelah lari, mereka memberitahukan apa yang dilihatnya itu kepada beberapa kawan. Penasaran, seorang Belanda mencoba masuk ke bilik utara tersebut. Katanya, ia benar-benar melihat perempuan cantik. Setelah didekati, ternyata patung. "Belandanya marah, kemudian wajah patung itu dipopor senjata. Makanya hidung patung Roro Jonggrang ini pecah. Tapi itu katanya lho, ya. Cerita dari masyarakat saja," ujarnya.

Tapi memang patung Roro Jonggrang itu masih cantik, meski hidungnya hilang. Proporsinya dibuat dengan detail dan sempurna. Apakah leluhur masa lalu kita sudah punya panduan khusus soal anatomi? Pastinya begitu. Seperti saya bilang tadi, peradaban leluhur kita luar biasa.


Pengunjung berduduk santai dan berteduh di bayangan Candi Prambanan.

Berkeliling di Candi Siwa itu sangat mengasyikkan. Kami bisa menyaksikan latar Gunung Merapi dan tetumbuhan hijau dari ketinggian. Angin semilir menyibak rambut, mengelus pipiku lembut. Berbeda dengan sentuhan jari suamiku. Jari seorang fotografer yang berkali-kali memijat tombol kecil di kameranya. Jari suamiku hanya baik digunakan untuk mencabut jerawatnya sendiri, atau memilah uban di rambutnya.

"Ma, ngelak, ho!," teriaknya dari bawah. Ia bilang sedang haus. Saya mengambil botol air mineral kecil dari tas dan saya lempar ke arahnya. Kemudian ia bergerak layaknya kiper dalam olahraga sepak bola. Sedikit memiringkan tubuh, lalu menangkap botol air mineral itu. Lantas berguling-guling seperti adegan dramatik Gianluigi Buffon ketika menepis penalti Zinedine Zidane. Dasar aneh. "Ayo Ma, pura-pura enggak kenal saja," kata anak saya. Kami pun memilih melanjutkan perjalanan, mengunjungi bilik-bilik selanjutnya.

Arca Siwa Mahadewa sebagai arca utama berada pada bilik sisi timur. Orang Jawa menyebutnya Batara Guru. Keyakinan Hindu di Jawa maupun Bali, sebagian besar menganggap Siwa sebagai Dewa utama di antara dua dewa Trimurti lain: Wisnu dan Brahma. Di bilik selatan, terdapat Arca Agastya sebagai Siwa Mahaguru. Berpostur gemuk, berusia tua. Sedangkan Arca Ganesya, Dewa ilmu pengetahuan berkepala gajah yang menjadi logo UGM tersebut, berada di bilik bagian barat. 

Sumber: