Buku "Jalan Menuju Rumah" oleh 23 Penulis; Bagai Manusia dengan Rumah di Atas Kepalanya
Sasti Gotama dengan buku yang memuat tulisannya bersama para penulis yang dimentorinya dalam Kelas Menulis Cerita Pendek angkatan ke-6.--
Seperti banyak jalan menuju Roma. Demikian pula dengan jalan menuju rumah. Berbagai ide bisa dijumput oleh 23 penulis yang melahirkan buku Jalan Menuju Rumah pada 7 Agustus lalu.
Lewat tokoh Anna, Sylvia Tanumihardja menulis cerpen berjudul Rumah Impian. Pesan Sylvia -seorang dokter ahli saraf- dalam cerpennya, dia mau pembaca bisa menjadi diri sendiri seutuhnya. ”Be yourself-lah. Memang enggak mudah. Tapi itu bisa dimulai dengan jujur pada diri sendiri,” katanya.
Sampai bisa meramu cerita, Sylvia bersama para penulis, telah mengikuti Kelas Menulis Cerita Pendek angkatan ke-6 yang diselengarakan Akademi Menulis Padmedia, besutan Wina Bojonegoro. ”Jika enggak ikut kelas, saya pasti untuk disiplin menulis,” katanya.
Beruntung ada banyak penulis senior yang menempa. Selain Wina, penulis dan sastrawan Indonesia yang mengajar yakni Faisal Oddang, Damhuri Muhammad, Dewi Kharisma Michellia, dan Rilda Taneko. ”Tersanjung lagi karena bisa satu buku dengan para mentor; Kak Wina, Kak Sasti Gotama dan Kak Mashdar Zainal,” terang Sylvia,
Pengalaman seru mengikuti kelas yang dilangsungkan dalam sepuluh materi selama tiga bulan itu juga dirasakan Poeti Aisha. Dia teringat bagaimana berjuang keras menuntaskan tugas akhir.
Namun Poeti senang karena ada Sasti –mentor dan editor- yang sangat presisi dalam hal tata bahasa. Darinya Poeti mendapatkan teori tentang struktur kalimat. Bekal itulah yang dipakainya untuk menghasilkan Angsuran Terakhir.
”Itu tentang maraknya kasus perumahan bodong. Fenomena kaum menengah urban yang bermimpi punya properti -baik sebagai rumah tinggal maupun investasi- ternyata jadi sasaran empuk pengembang perumahan yang berbisnis secara amanah,” terangnya.
”Saya tahu sendiri ada satu dua kawan tertipu pengembang perumahan. Tidak mendapatkan haknya ketika tiba masa penyerahan unit rumah ataupun sertifikat hak milik. Saya bisa mengembangkannya bersama para pengajar yang oke,” lanjutnya.
Berjudul Setelah Tiga Puluh, Wirhayati mendapat inpirasi dari kehidupan perempuan-perempuan di sekitarnya yang masih hidup melajang. Cerita itu dihidupkan oleh tokoh bernama Rani.
”Saya banyak belajar tentang penokohan dari kelas ini. Sampai ketemu Rani yang mewakili kehidupan perempuan lajang yang berjuang menemukan jodoh yang akan tinggal bersama di rumah impiannya,” katanya.
Sementara Eva Sundari yang menulis Rumah Terlarang hendak mengingatkan para orang tua tentang dampak perundungan pada anak. ”Ada keprihatinan saya dalam cerpen itu. Bila tak terselesaikan perundungan itu dampaknya bisa fatal buat anak,” kata mantan anggota DPR RI yang kini rajin menulis itu.
Dijelaskan Wina, sebagai tugas akhir, cerpen-cerpen yang ditulis para siswa telah dipresentasikan –bahkan- sejak proposal ide cerita. Para mentor lalu menilai kesesuaian logika cerita dan kesesuaian tema besar rumah yang ditentukan.
”Tidak sedikit peserta yang akhirnya harus merombak bahkan berganti konsep, unsur, atau keseluruhan cerita. Setelah cerpen selesai ditulis, baru dilakukan bedah naskah. Satu per satu diselenggarakan bak sidang tesis lho,” terangnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: