Sembahyang Hantu Lapar di PDB Lotus Ditandai Dharma pada Leluhur dan Sesama

Sembahyang Hantu Lapar di PDB Lotus Ditandai Dharma pada Leluhur dan Sesama

Usai peribadatan, sekitar pukul 10 pagi, dilakukan pembakaran uang, rumah, dan pakaian yang terbuat dari kertas. Tungku dinyalakan. Masing-masing membakar persembahan yang telah dituliskan nama leluhurnya. --

Masyarakat Tionghoa mengenal Festival Ji Yek Pan atau sembahyang arwah. Tradisi Tiongkok kuno itu dirayakan umat Buddha sebagai ajang berbagi kepada sesama. 

Selain disebut Ji Yek Pan, masyarakat Tionghoa mengenalnya sebagai sembahyang Cioko, Pinyin, dan lainnya. Namun artinya sama; sembahyang arwah atau sembahyang hantu lapar.

Di beberapa negara, ada festival hantu lapar. Seperti O-Bon di Jepang atau Tet Trung Nguyen di Vietnam. "Jika dalam tradisi Barat dikenal Halloween, maka Ji Yek Pan ini Haloween-nya Tiongkok,” ungkap Hanadi Soehardjo Hartono, umat Buddha Mahayana di Perkumpulan Doa Bersama (PDB) Lotus, Jalan Pandegiling, Surabaya. 

Tradisi Tiongkok meyakini bahwa tiap bulan ketujuh dalam kalender Imlek, pintu akhirat dibuka. Hantu atau arwah bebas bepergian ke mana pun, termasuk mengunjungi keluarga mereka. 

Tradisi tersebut telah lestari sejak ratusan tahun lalu. Bermula dari ritus masyarakat agraris Tiongkok yang memberi persembahan kepada leluhur dan para dewa, ucapan syukur atas hasil panen. 

Bulan Agustus Masehi, bulan ketujuh kalender Imlek, berkaitan dengan musim gugur di negara Tirai Bambu. Masyarakat mulai memanen hasil tanamannya pada musim tersebut. Tradisi tersebut berkembang menjadi ritus rutin untuk menjamu para arwah yang datang ke bumi. "Tujuan ritual tersebut adalah penghormatan leluhur dan berbagi kepada sesama,” ungkapnya. 

Banyak yang memercayai bahwa pada bulan tujuh, ketika hantu-hantu berdatangan, maka tidak diperbolehkan mengadakan upacara pernikahan atau ulang tahun. Diyakini hantu-hantu akan turut datang dalam tiap perayaan tersebut. 

Namun umat Buddha menampik keyakinan bahwa bulan tujuh adalah bulan suram. “Justru pada bulan tujuh ini kita dapat meningkatkan amalan, baik terhadap leluhur maupun sesama,” ungkap ayah satu anak tersebut.

Dalam sejarah Buddha Gautama, bulan ketujuh merupakan momen ketika Sang Buddha berbahagia. Sebab, bulan tersebut merupakan akhir dari perjalanan pengembangan spiritual para murid. Saat itu banyak yang tercerahkan, mendapat wawasan serta merealisasikan dharmanya masing-masing. "Berbagi pada sesama dan leluhur, bagi kami merupakan salah satu realisasi dharma,” terangnya.

Pengaruh Buddha Mahayana di Tiongkok, yang menekankan penghormatan terhadap orang tua atau leluhur, membuat tradisi tersebut berkembang dan identik dengan Buddha Mahayana.

PDB Lotus menggelar peribadatan Cioko pada 14 Agustus 2022. Pada pagi hari, umat menyusun batu bata putih di halaman depan sebagai tungku perapian. Fungsinya untuk membakar uang kertas, replika pakaian, dan sebagainya, sebagai persembahan untuk leluhur. Di bagian dalam, disusun berbagai sajian. Ditata dalam meja panjang, beserta berbagai macam piranti peribadatan.

Banthe Phra Latthilamnao Srisuk (Lamnao) memimpin ibadah yang dimulai pada pukul 9 pagi. Puluhan umat tampak khusyuk berlutut di samping altar utama. Ayat-ayat kitab Paritta Suci dibacakan.

Termasuk penjabaran tentang Ulambana Sutra. Berisi tentang kisah Yang Arya Maudgalyayana, salah satu siswa Buddha yang menolong ibunya. "Ibu Yang Arya Maudgalyayana terlahir kembali di alam hantu lapar. Berkat nasihat Buddha Gautama, beliau mempersembahkan dana bagi para sangha pada akhir masa pravarana, bulan ketujuh Imlek,” ungkap Purwohadi Kahar, pendamping ibadah. 

Ada pula versi sejarah Tiongkok terkait ritus tersebut. Ratusan tahun lalu, pada tanggal 15 bulan 7 Imlek, ada eksekusi mati bagi seluruh pelaku kejahatan oleh jaksa Bao. Tokoh yang pernah difilmkan pada dekade ‘90an dengan judul Judge Bao. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: