Sembahyang King Ho Ping, Umat Konghucu Persembahkan Pir-Apel-Jeruk untuk Menuju Keselamatan

Sembahyang King Ho Ping, Umat Konghucu Persembahkan Pir-Apel-Jeruk untuk Menuju Keselamatan

Proses pembakaran kertas toa kim dan beberapa piranti untuk dipersembahkan pada leluhur.--

Tak hanya leluhur saja yang dapat disembahyangi. Kawan akrab yang telah meninggal dunia pun dapat didoakan. Bahkan arwah dari orang tak dikenal, yang semasa hidup tak ada yang mendoakan, diberi sajian pula oleh umat Konghucu.

Mereka tak didoakan bisa karena kerabatnya pindah keyakinan, atau tak memiliki anak keturunan. ”Jangan sampai putus. Jika sudah begitu, maka kami yang mendoakan,” ungkapnya. 

Tampak dalam piring-piring sajian, dua piring di bagian depan tak memasang kertas berisi nama seseorang. Berbeda dengan piring-piring lain yang berisikan nama lengkap plus kerabat yang bersangkutan. 
Tiap sajian dan bentuk wadah sesaji pun memiliki makna masing-masing. Buah apel bermakna keselamatan. Pir dimaknai sebagai jalan atau jembatan penghubung. Sedangkan jeruk adalah rezeki atau keberuntungan.

Ketiga buah itu ditata sejajar. Sehingga jika dirangkai dalam satu kalimat menjadi ”keselamatan adalah jalan keberuntungan”. ”Bagi leluhur maupun bagi kita di dunia, agar diberi keselamatan. Orang yang selamat dalam hidup, akan mudah mencapai keberuntungan atau rezeki,” terang pria 59 tahun itu.

Sedangkan kue tok yang berwarna merah, simbol keberuntungan pula. Roti kukus berbentuk seperti kura-kura, bermakna umur panjang. Manisan, agar hidup senantiasa mendapat kebahagiaan.
Para perempuan melipat kertas toa kim untuk dijadikan bentuk kapal dan teratai.

Wadah bunga teratai, bermakna ketahanan. Teratai dapat tumbuh sekali pun berada dalam lingkungan yang tak kondusif. Sedangkan kapal, bermakna agar doa dan harapan anak-cucu dapat berlayar, hingga sampai pada leluhur di alam arwah.

Sembahyang King Ho Ping dimulai pada pukul 10 siang. Liem bertindak sebagai cuce atau pemimpin peribadatan. Sedangkan dua pwee ce atau pendamping peribadatan dijalankan oleh Ing Julita dan Sanny. Terlebih dulu mereka, bersama para umat, berdoa bersama di altar Tuhan dan altar Nabi, di ruang lantai dua Kelenteng Delapan Jalan Kebajikan.

Ibadah itu merupakan syarat untuk meminta izin pada hadirat Tuhan dan Nabi bahwa mereka akan melaksanakan sembahyang King Ho Ping. Kemudian mereka turun ke altar lantai satu dan melantunkan kidung pujian serta doa kepada leluhur. 
Pembakaran piranti dalam ibadah King Ho Ping bermakna untuk doa bagi arwah leluhur. -ALFIYANTO INDRA/Harian Disway-

Satu per satu piranti berupa kertas berbentuk kapal dan teratai, juga lembaran-lembaran kertas toa kim dibakar di tungku berwarna merah yang berada di halaman kelenteng. 

Para umat kembali memanjatkan doa, di sela asap yang membumbung. Sedangkan boks-boks besar berisi berbagai piranti, tidak memungkinkan untuk dibakar di halaman kelenteng. ”Kami akan membawanya ke Grand Heaven. Boks-boks itu akan dibakar di sana,” pungkas Liem. 

Berbeda dengan sembahyang arwah yang dilakukan umat Buddha atau umat lain. Beberapa di antara mereka yang tetap menjalankannya, sekadar melestarikan tradisi leluhur. Namun dalam agama Konghucu, ritual tersebut adalah wajib. Sebuah perintah agama yang tertera dalam kitab suci. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: