Novel Anak Gunung Karya Eko Darmoko Rudianto Penuh Absurditas dan Kaya Makna

Novel Anak Gunung Karya Eko Darmoko Rudianto Penuh Absurditas dan Kaya Makna

--

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Pengalaman berkeliling ke berbagai negara sekaligus kegemarannya mendaki, mengilhami Eko Darmoko Rudianto menulis novel Anak Gunung. M Atiqurrahman dan S Jai ikut mengulasnya.

Pada 2015, Eko pergi ke Kitakyushu Selatan, Jepang untuk tugas kerja. Berkeliling ke beberapa kota di Jepang, ada ide untuk menulis cerpen. Setting perkotaan Jepang mewarnainya. 

Ketika itu Eko belum memberinya judul. ”Lalu saya bubuhkan kisah tentang pendakian, hobi saya,” ungkap 10 Penulis Emerging Indonesia dalam Ubud Writers and Readers Festival 2022 itu.

Dalam satu pendakian, Eko pernah tersesat di Gunung Argopuro selama tiga hari. Cerita itu menjadi cerpen Ladang Pembantaian. Setelah sampai di Indonesia, cerpen itu diendapkan sekian lama. 

Kerap dibaca ulang, alumni Jurusan Sastra Indonesia FIB Unair itu merasa cerpen tak berjudul itu harus dipanjangkan. Bila perlu jadi novel. Sehingga ia mengembangkan alurnya dan menambahkan beberapa detail kisah petualangan dan settingnya.

”Seluruh isi kisahnya rampung pada 2022. Seperti judulnya, ini tentang pendakian gunung. Perjalanan dan petualangan. Serta kisah cinta,” kata pria 36 tahun itu.

Novel ini berkisah tentang perempuan blasteran Jepang-Indonesia. Sekian lama tinggal di Jepang, tokoh bernama Riri itu pulang ke Surabaya. Di Kota Pahlawan, Riri membuka usaha toko alat-alat olahraga dan mendaki gunung.

Suasana Surabaya yang digambarkan berasal dari kedekatannya dengan tanah kelahiran. Nuansa Jepang didapat dari pengalaman. Sedangkan unsur petualangan dalam pendakian, didapat karena Eko adalah pendaki. 

Tokoh Ranu merupakan anak yang lahir di kawasan lereng Gunung Semeru yang kuliah di FIB Unair. ”Saya ambil setting yang dekat dengan keseharian saya,” ungkap penulis buku Ladang Pembantaian (Pagan Press, 2015) dan Revolusi Nuklir (BasaBasi, 2021) yang masuk 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021.

Ranu dekat dengan Riri. Namun anak gunung itu dilema. Karena terlibat cinta dengan tiga perempuan. Bingung memilih antara Riri, gadis kawan masa kecilnya di lereng Semeru, serta kakak kelasnya yang crazy rich. 

Tak hanya latar Kitakyushu dan Tokyo, ada latar Eropa dan Amerika. Sebagaimana  karya-karya Budi Darma yang menginspirasinya. 
Eko Darmoko Rudinato (tengah) dalam diskusi yang digelar Majelis Sastra Urban dengan narasumber dosen UINSA Mohammad Atiqurrahman (kiri), Eko Darmoko Rudianto, dan sastrawan S Jai (kanan).

Karena itu dalam diskusi oleh Majelis Sastra Urban, dosen UINSA Mohammad Atiqurrahman menyebutkan bahwa novel Anak Gunung mengingatkannya pada Rafilus karya Budi Darma. ”Seperti Rafilus. Alurnya dibagi bab per bab. Di dalamnya juga terlihat absurditas,” ungkapnya.

Sastrawan S Jai melihat sisi eksistensialis pada tokoh utama Ranu, serta pada tokoh-tokoh perempuan yang mandiri dan tegar. Khususnya Riri. ”Terlihat pengetahuan penulisnya tentang perilaku kebudayaan masyarakat dunia, sejarah, psikologi, musik, sastra, geografis, dan tentu saja eros,” ujarnya.

Senada dengan Atiqurrahman, S Jai menangkap faktor absurditas. ”Sangat kental. Jadi buku ini menarik dibaca dari beberapa sisi,” ungkapnya.

Sumber: