Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Drama di Balik Pencarian Fakta (26)

Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Drama di Balik Pencarian Fakta (26)

Tim van Wijk mengunjungi rumah bibinya di Salatiga, di kota itu sang ibunda dimakamkan.-Sumi Kasiyo for Harian Disway-

Kisah pencarian Tim van Wijk dalam menemukan ”akarnya” penuh drama. Ibunya meninggal sebelum ia tiba di Surabaya. Anggota keluarga yang ia temui justru menceritakan kebohongan. 

TABIR fakta pada perjalanan kisah hidup Tim perlahan mulai terungkap setahun belakangan. Ia diambil paksa dari rumah sakit ketika usianya baru 3 hari. Dokter menculiknya. 

Ia menjadi jaminan atas kakak perempuannya yang sedang sakit. Dia satu tahun lebih tua dari Tim. ”She needed care for 5 month, but my mother was very poor (Dia butuh perawatan selama 5 bulan, tetapi ibuku sangat miskin, Red),” ujar Tim di Restoran Kayyana Surabaya, Sabtu, 6 Agustus 2022.

Saat itulah dokter menculiknya untuk menebus biaya pengobatan sang kakak. Sang ibu tak bisa melihat dan menyentuh buah hatinya semasa hidup. Dia meninggal pada 21 Maret 2021.

Namun, sebelum mendapatkan fakta itu, Tim harus terombang-ambing oleh informasi sesat yang disampaikan bibinya. 

Kisah bermula 22 Mei 2021. Tim dan kekasihnya, Sumi Kasiyo, mendarat di Jakarta setelah perjalanan udara dari Belanda. Mereka lalu pergi ke Jawa Tengah bersama pasukan pencari orang tua kandung dari Yayasan Mijn Roots. Mereka tujuh orang. Laki-laki dan perempuan. Naik dua mobil.

Tim dan Sumi satu mobil dengan Repta dan Rudi dari Mijn Roots menuju Salatiga, tempat ibunda Tim dimakamkan. Karena datang lebih dulu dari rombongan lainnya, mereka menyempatkan diri menjelajahi hijaunya perdesaan.


Pemandangan persawahan saat tim Mijn Roots menuju ke Salatiga.-Sumi Kasiyo for Harian Disway-

Sumi mengabadikan momen itu dengan tulisan dan jepretan kameranyi yang tersimpan di blog pribadinyi. Sepanjang jalan, mereka melihat alam tropis yang sangat luar biasa indahnya. Para petani membajak sawah dengan kerbau. 

Bagi kita, pemandangan itu mungkin sering terlihat. Namun, bagi para anak adopsi yang puluhan tahun tercerabut dari akar Indonesia, itu adalah pemandangan warisan budaya. Mereka menepikan kendaraan dan mengabadikan momen itu.

Tim terdiam sambil jongkok. Cara duduk itu tak lumrah bagi orang yang seumur hidupnya tinggal di Eropa. Namun, DNA Indonesia yang mengalir dalam tubuhnya tak bisa berbohong. Rupanya kebiasaan itu tetap mendarah daging.

Setelah terdiam sesaat, tak terasa air matanya mengalir. Sumi bisa mendengarkan suara isak pelan kekasihnya. Mata Tim tertuju pada buruh tani yang dengan tenang tapi penuh semangat mendorong kerbau di tengah terpaan matahari.

Awalnya Sumi mengabadikan momen yang tak mungkin terulang untuk kali kedua itu. Setelah melihat kekasihnyi menangis, ia menghentikan aktivitasnyi. 

”Tetapi, ketika saya mendengar cinta saya menangis begitu lembut, saya berhenti memotret dan berjalan ke arahnya. Meluruskan beberapa rambut yang tergerai, memberinya ciuman, berdiri di belakangnya dan melingkarkan lenganku di sekelilingnya dengan sangat erat,” tulis Sumi di blognyi, diterjemahkan dari bahasa Belanda.


Tim van Wijk duduk Jongkok, ini adalah kebiasaan Indonesia selalu ia lakukan meski seumur hidupnya hidup di Belanda.-Sumi Kasiyo for Harian Disway-

Perjalanan dilanjutkan. Mereka masuk ke pedalaman desa yang sebagian besar terdiri atas sawah. Dalam panas terik, buruh tani, laki-laki dan perempuan, bekerja keras memanen padi. Untaian beras diketuk hingga lepas dan yang tersisa adalah butiran yang terbungkus selaput, yang kemudian dilempar dengan semangat ke udara dan diayak. Kemudian, beras dikantongi di karung dan dipikul di pundak tubuh-tubuh kurus para petani tua.

Hari itu mereka menuju ke rumah Bibi Candra, saudari ibu kandung Tim. Pelan tapi pasti, akhirnya mereka tiba juga di sana. 

Rombongan berjalan melintasi halaman menuju rumah tempat Bibi Candra berada. Di rumah itu sudah ada Ana Maria van Valen, salah seorang pendiri Mijn Roots yang membantu pencarian orang tua kandung anak-anak adopsi dari Belanda. Hari itu Tim dan bibinya bisa saling berpelukan untuk kali pertama setelah 45 tahun.

Interior rumah itu tidak asing bagi Tim dan Sumi. Mereka sudah melihatnya pada pertemuan virtual beberapa bulan sebelumnya. Saat itu Tim dan ibu kandungnya bisa berkomunikasi untuk kali pertama. Sayang, pertemuan mereka terhalang oleh pandemi dan maut.

Pertemuan hari itu terasa sangat aneh dan menyakitkan. Sang ibu, Elya Rosani Tim Hiraeth, seharusnya duduk di kursi yang sama di ruang tamu rumah sederhana tersebut.

Bibi Candra menceritakan beberapa hal. Ayahnyi alias kakek Tim memiliki darah campuran Belanda dan Jerman. Ibunyi alias nenek Tim adalah orang Jawa. 

Ayah Tim berasal dari Sumatera dan beragama Katolik. Pernikahan antara orang tuanya tidak diterima keluarga pihak ibu karena berbeda keyakinan. Sebab, sang ibu beragama Islam. 

Sang ibu tetap setia kepada suaminyi karena mereka memiliki banyak cinta satu sama lain. Jadi, kata Bibi Candra, ”Tim, kamu benar-benar lahir dari cinta.” Demikian tulis Sumi dalam blognyi.

 

Sang Bibi Banyak Menghindari Pertanyaan. BACA BESOK!

 

Sumber: