Ke Sumba Barat Daya, Lini Disambut Lumut Love di Waikuri

Ke Sumba Barat Daya, Lini Disambut Lumut Love di Waikuri

Saya dengan latar belakang Danai Waikuri.--

Untuk seorang ketua adat jika meninggal dunia, memang akan dibuatkan nisan sebesar itu. Namun jika warga biasa meninggal, nisannya paling tinggi seukuran manusia saja. Tak sampai 2 meter.
Bila bukan orang kehormatan, tanda makamnya tak terlalu tinggi.

Desa Ratenggaro berbatasan dengan pantai. Cukup segar di tengah savana yang menguning kecokelatan. Ya inilah esensi Sumba sebenarnya; savana. Padang rumput kering. Seperti yang terlihat di sudut luar Desa Ratenggaro maupun dalam lokasi wisata kami yang kedua: Danau Waikuri.

Danau di Desa Kalena Rongo, Kodi Utara, Kabupaten Sumba Barat Daya, itu dikenal sebagai kecantikan Sumba yang tersembunyi. Kontur wilayah di Kalena Rongo itu semacam lembah. Mulai perjalanan dari atas, lalu turun ke bawah. 

Bagian paling bawah membentuk cekungan-cekungan. Salah satunya adalah danau berlumut Waikuri. Kebetulan, ketika kami ke sana, lumut-lumut di danau itu membentuk hati atau simbol love. Sangat menawan. 
Penampakan Danau Waikuri yang permukaan airnya tertutup lumut yang membentuk simbol love. Inilah destinasi wisata yang sangat indah di Pulau Sumba. Siapa pun wajib ke sini.

Mungkin keberadaan lumut itu membuat warna danau tidak sepenuhnya biru. Namun bercampur sehingga tercipta warna toska. 

Danau tersebut dikelilingi oleh batu karang. Berbatasan dengan laut lepas. Sehingga saat pasang, air laut masuk ke danau tersebut dan terjebak. Bisa jadi pula warna toska muncul dari proses percampuran itu.

Anak-anak setempat menawarkan jasa memotret. Mereka rupanya telah dilatih. Entah siapa yang melatih ya. Bidikan angle foto mereka, tepat. Hasilnya sangat bagus. Beragam yang diambil. Termasuk seekor kuda putih tengah berlari. 
Salah satu bidikan anak-anak setempat.

Saya berpikir mereka bisa jadi fotografer potensial bila mendalami profesi itu dengan serius. Sebab hasil bidikan dengan smartphone saja hasilnya bisa melebihi hasil kamera mahal. Harga jasanya murah pula. Hanya Rp50 ribu.

Menjelang sore, kami mampir ke pemukiman warga. Desa Kalena Rongo. Di sana kami membagi-bagikan makanan, beberapa uang, dan alat tulis untuk anak-anak setempat. Mereka senang bukan main. 

Destinasi terakhir di hari pertama adalah Pantai Mandorak. Pantai berkarang dengan kondisi air yang sangat jernih. Biru di tengah, gradasi membentuk warna toska hingga ke garis pantai. Letaknya berada di Desa Pero Batang. Cukup dekat dengan Danau Waikuri.
Saya berlatar belakang Pantai Mandorak yang menjanjikan ketenangan.

Karang-karang tinggi menjulang. Kami berada di tengah, berdiri di atas pasir pantai yang lembut. Gelombang bergerak dalam tempo yang konstan. Menimbulkan suara gemuruh dan kemericik riak. Matahari hampir tenggelam. 

Melihat itu, saya membayangkan tentang kisah Adam dan Hawa yang diusir dari Firdaus. Ketika keduanya ingin memuaskan klangenan (kesenangan, Red) -atau setidaknya mencari tempat yang serupa- mereka sudah pasti akan pergi ke Sumba. Saya saja juga ingin kembali lagi kok suatu saat. (Oleh Lini Natalini Widhiasi; perupa, tinggal di Surabaya)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: