ACAB di Kanjuruhan

ACAB di Kanjuruhan

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

CORAT-CORET grafiti di tembok dan dinding Stadion Kanjuruhan menjadi saksi kemarahan para suporter Arema. Coretan itu menjadi ekspresi kesedihan sekaligus kemarahan Aremania atas tewasnya 131 suporter dalam tragedi 1 Oktober. Umumnya, coretan kemarahan itu ditujukan kepada polisi yang dianggap lalai sehingga mengakibatkan jatuhnya morban massal itu.

Sebagian grafiti itu ditulis dalam bahasa Inggris. Bunyinya menohok langsung, Police Murderer, ’polisi pembunuh’. Ada lagi grafiti yang paling banyak ditemui berbentuk singkatan  ”A.C.A.B.” yang kemudian disertai dengan angka ”1.3.1.2.”. 

Coretan itu paling banyak dijumpai di pintu 13 yang disebut sebagai ”Pintu Misteri”. Saat kerusuhan terjadi, pintu tersebut terkunci sehingga ribuan suporter berdesak-desakan dan saling injak untuk menyelamatkan diri dari serangan gas air mata. 

Semua sudah pada mafhum ACAB adalah singkatan dari all cops are bastards. Artinya, semua polisi adalah bajingan. Sedangkan angka 1312 menunjukkan urutan abjad ACAB. Simbol itu menjadi jargon perjuangan para aktivis di seluruh dunia yang menentang tindakan kekerasan oleh polisi.

Simbol ACAB banyak bermunculan pada demo di Amerika Serikat (AS) setelah terjadinya kematian George Floyd di Minessotta lantaran dianiaya polisi pada 2020. 

Ketika itu Floyd baru keluar dari minimarket untuk membeli rokok. Ia dicegat polisi, digeledah, dan dibanting ke trotoar. Tangannya dipelintir ke belakang dan lehernya ditindih dengan dengkul. Floyd merintih, ”I can’t breathe... (Aaya tidak bisa bernapas...).” Namun, ia tidak diindahkan polisi. Floyd akhirnya mati kehabisan napas.

Peristiwa itu menyulut demo dan kerusuhan di seluruh Amerika AS dan dengan cepat menjalar ke seluruh dunia. Publik menuntut pembubaran institusi kepolisian dan memaksa pemerintah AS mencabut anggaran untuk kepolisian. ACAB menjadi simbol perlawanan yang sangat populer di seluruh dunia.

Bagi kera-kera Ngalam alias arek-arek Malang, terjemahan ACAB dalam bahasa ”lawikan” adalah ”silup nangijab”. Ekspresi itu dipakai untuk menggambarkan kekesalan terhadap polisi. Ekspresi yang sama menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia dan di beberapa kalangan suporter Eropa. 

Di Jerman, suporter Bayern Munich membentangkan spanduk ”pembunuh” untuk menunjukkan dukacita terhadap tragedi Kanjuruhan. Hal yang sama ditunjukkan para suporter di Spanyol.

Polri sudah mencopot kapolres Malang yang dianggap bertanggung jawab. Polri juga sudah menersangkakan beberapa orang, termasuk Ahmad Hadian Lukita sebagai direktur utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) yang mengoperasikan kompetisi. 

Tetapi, tindakan itu dianggap tidak cukup. Desakan agar Polri mencopot Kapolda Jatim Nico Afinta juga bergema sangat keras. Sebagai penanggung jawab keamanan di Jawa Timur, Kapolda dianggap telah gagal. Karena itu, ia harus dicopot.

Ketua PSSI Mochamad Iriawan alias Iwan Bule juga menjadi sasaran kritik keras dan didesak untuk mengundurkan diri. Iriawan dianggap gagal mengendalikan organisasi dan harus ikut bertanggung jawab terhadap tragedi itu. Sebuah petisi online yang menuntut pengunduran diri Iriawan sudah diteken belasan ribu orang dan terus bertambah.

Tragedi 1 Oktober di Stadion Kanjuruhan, Malang, akan menjadi luka yang bakal dikenang dan diperingati sepanjang masa. Luka itu begitu dalam. Kenangan buruk tersebut terlalu mencekam dan terlalu kuat untuk bisa dilupakan. Setiap 1 Oktober ribuan Aremania akan mengadakan acara peringatan mengenang tragedi itu.

Polisi mungkin menganggap tragedi selesai dengan mencopot Kapolres dan beberapa komandan lapangan. Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan pernyataan resmi, mengucapkan belasungkawa, meminta pengusutan tragedi hinga tuntas, dan mengharap tragedi itu tidak akan terulang. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: