Sisi Medis Urgensi Cukai Minuman Berpemanis; Siap Regulasi Ekstrem seperti Rokok
--
Pada 2023 pemerintah Indonesia berencana menerapkan aturan pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Melalui rapat pada 27 September 2022, Badan Anggaran (Banggar) DPR telah menyepakatinya. Apa sisi medis urgensinya?
Salah satu tujuan pengenaan cukai pada MBDK itu adalah untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor cukai yang ditargetkan seluruhnya mencapai Rp.254,4 triliun.
Sebenarnya pada Februari 2020 silam, masalah cukai MBDK ini pernah dibahas. Saat itu diproyeksikan, bahwa sektor tersebut berpotensi dapat meraup kontribusi bagi penerimaan negara hingga mencapai Rp6,25 triliun.
Jumlah ini diperkirakan diperoleh dari komponen cukai teh dalam kemasan, minuman berkarbonasi, dan energy drink, serta kopi dalam kemasan.
Landasan hukum yang mengatur soal cukai telah cukup lama diundangkan. Aturan itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007.
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut.
Rencana Indonesia itu tidak sendirian. Ada Meksiko, Inggris, Afrika Selatan, Portugal, Chile, Amerika Serikat, Spanyol, dan Hongaria. Di kawasan Asia, Malaysia dan Filipina telah mengawalinya.
Dalam situasi menghadapi ancaman krisis pangan dan resesi global, meningkatkan pendapatan negara dari sektor cukai cukup realistis. Tujuan ini sangat efektif bila disertai penghematan dari aspek impor gula.
Persoalannya, mengurangi konsumsi gula masyarakat Indonesia tidak selalu mudah. Menurut databoks, konsumsi gula pasir penduduk Indonesia menunjukkan tren peningkatan.
Sepanjang 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsinya mencapai 1,123 kg per kapita per minggu (setara dengan 160 gram per hari). Jumlah ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yaitu sebesar 1,105 kg per kapita per minggu.
Konsumsi gula masyarakat Indonesia ini, jauh melampaui rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). WHO menyarankan konsumsi gula harian ”hanya” sekitar 50 gram (setara dengan empat sendok makan) per hari, garam 5 gram per hari, dan lemak 67 gram per hari.
Informasi tentang jumlah kandungan gula sesuai acuan WHO tersebut seharusnya dicantumkan pada setiap label pangan disertai pesan kesehatan. Aturan itu telah tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 30 tahun 2013.
Secara lebih terperinci, informasi nilai gizi (termasuk kandungan gula) pada label pangan olahan telah ada regulasinya. Hal itu tercantum dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan nomor 26 tahun 2021.
Pola konsumsi masyarakat Indonesia yang doyan terhadap makanan dan minuman manis berdampak signifikan pada pengeluaran devisa yang dialokasikan untuk impor gula.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: