Sembahyang Pelepasan Raga Dewi Kwan Im yang Disebut Shen Ming karena Suci

Sembahyang Pelepasan Raga Dewi Kwan Im yang Disebut Shen Ming karena Suci

--

SURABAYA, HARIAn DISWAY - Dewi Kwan Im memiliki tempat khusus dalam ruang kultural Tiongkok. Sehingga sosoknya pun dihormati oleh masyarakat Tionghoa, seperti umat Konghucu. Mereka mengadakan sembayang pelepasan raga Dewi Kwan Im pada 14 Oktober 2022.

Dalam khasanah mitologi Dewa-Dewi Tionghoa -baik Tao, Konghucu, dan Buddha- ada kesamaan dalam menghormatinya. Seperti kepada sosok Dewi Kwan Im.

Dalam film Tiongkok, Dewi tersebut kerap dikaitkan dengan agama Buddha. Padahal umat Konghucu juga memuliakan Dewi welas asih tersebut. "Kami memeringati hari kelahiran dan pelepasan beliau ke surga. Seperti pada 14 Oktober lalu, kami mengadakan peribadatan Mak Kwan Im meninggalkan raganya,” ujar Wen Shi Anuraga Tanuwidjaja, rohaniwan Konghucu.

Sebab hari itu, dalam kalender Tiongkok jatuh pada 2573 Kauw Gwee 19, merupakan hari ketika Dewi Kwan Im diangkat ke surga.

Salah satu versi cerita Tiongkok menyebutkan bahwa Dewi Kwan Im telah dikenal jauh di daratan negeri Tirai Bambu sebelum agama Buddha masuk ke wilayah tersebut. Menurut Kitab Suci Kwan Im Tek Too yang disusun oleh Chiang Cuen, Dewi Kwan Im lahir pada era seratus tahun Kerajaan Ciu atau Cian Kok pada 403-221 SM. Sosoknya sangat terkait dengan legenda Puteri Miao Shan, anak dari Raja Miao Zhuang, penguasa Negeri Xing Lin.

Sedangkan agama Buddha masuk ke Tiongkok pada abad 2 SM, dibawa oleh para pedagang dari Asia Tengah. "Maka jauh sebelumnya kami sudah menghormati sosok Dewi Kwan Im. Kami menyebutkan Makco Kwan Im Niang Niang. Dewi yang penuh cinta kasih," ungkap Anuraga.

Niang Niang merupakan sebutan untuk perempuan dalam budaya Tiongkok masa lalu. Dalam dialek lain, Kwan Im disebut sebagai Guan Yin Niang Niang. Namun dalam perkembangannya justru Dewi Kwan Im versi Buddha lebih populer. Awalnya dikenal sebagai sosok pria dari India, bernama Avalokitesvara Boddhisatva. Pada era Dinasti Tang, sosok tersebut ditampilkan dalam figur perempuan. 

Sosok perempuan Dewi Kwan Im diyakini mulai muncul secara luas pada era Dinasti Song. Yakni sekitar 960-1279 Masehi. Para pemeluk Dewi tersebut "melihat" sosoknya sebagai seorang perempuan. Maka Dewi Kwan Im difigurkan oleh seniman pada masa itu sebagai Dewi. Tak lagi sebagai laki-laki.
--

Namun bagi umat Konghucu, sejak kisahnya populer pada era Dinasti Ciu, Dewi Kwan Im tetap digambarkan sebagai seorang perempuan. Tak pernah berubah menjadi laki-laki. Kwan Im dikenal sangat berbakti pada ayahnya. Bahkan dia rela mengorbankan diri. Kepeduliannya dalam menolong orang lain pun membuat Kwan Im disukai rakyat Kerajaan Ciu.

Amal dan perbuatan baik menjadikannya begitu dihormati hingga dianggap sebagai seorang Dewi yang penuh kasih. "Lepas dari segala pendapat dan versi dari sastra atau agama apa pun, yang sama-sama kami hayati terhadap sosok beliau, adalah semangat welas asihnya," ungkap Wen Shi Liem Tiong Yang, budayawan Konghucu.

Saat itu ia hadir bersama isterinya, Olivia Yunita dan puteri bungsu, Haruka Shirakawa. Mereka menjalankan ibadah pelepasan raga Dewi Kwan Im. Peribadatan tersebut diselenggarakan di Kelenteng Delapan Jalan Kebajikan, Jalan Royal Residence, Balas Klumprik, Surabaya. Ritual dipimpin oleh Wen Shi Liem Tiong Yang sebagai cuce atau pemimpin peribadatan. Sedangkan berperan sebagai pwee ce atau pendamping adalah Wen Shi Anuraga dan Tan Djin Meng. 

Mengenakan jubah rohaniawan berwarna hitam, ketiganya melangkah ke sebelah utara kelenteng. Ke arah tungku pedupaan berukuran besar. Di situlah letak altar Thian atau altar Tuhan Yang Mahaesa. Tiga dupa dibagikan, simbol keterikatan antara manusia, alam semesta dan Thian. Di altar tersebut cuce Liem memanjatkan doa tentang harapan-harapan baik.

Mereka diikuti para umat lain, menuju altar Nabi Kongzi. Melakukan sembah sujud dan peletakan dupa di atas hio lo atau tungku pedupaan. Sebagai peribadatan terakhir, mereka semua menuju altar Dewi Kwan Im. Posisinya ada di sebelah selatan, di samping kiri altar Nabi. Di situ telah ditata bantal-bantal berwarna merah untuk berlutut. 

Tata cara yang sama dilakukan di depan altar. Di meja altar tersaji beberapa buah yang bermakna khusus. Seperti buah pir yang berarti keberuntungan. Buah jeruk dengan warna kulit keemasan perlambang kemakmuran. Ada pula buah naga, yang melambangkan keberkahan. "Buah naga dalam tradisi di kelenteng relatif baru. Namun dari bentuk dan warnanya, melambangkan naga sebagai mahluk penghuni kahyangan. Jadi keberkahan dari langit yang kami harapkan," ujar Liem.
--

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: