Cat Air dan Kegelisahan Sigit Wahyu Crueng

Cat Air dan Kegelisahan Sigit Wahyu Crueng

Sigit Wahyu Crueng dan karyanya.-Sigit Wahyu Crueng-

“Pak Jokowi pernah berpidato waktu di ITB. Beliau bilang, kalau semua jadi pegawai bank, yang jadi petani siapa?,” ujar pria 42 tahun itu. Rupanya kegelisahannya sama dengan presiden. Ia melihat bahwa banyak kaum muda yang memilih bekerja sebagai ASN, pegawai kantoran dan sebagainya. “Mereka rata-rata gengsi. Menganggap kerja di sawah itu kurang menghasilkan,” ungkapnya. 

Padahal, menurut pengamatan Crueng, petani saat ini relatif lebih sejahtera. Pemasukan mereka cukup tinggi. Apalagi, petani masa kini telah terbantu dengan kecanggihan teknologi pertanian. “Jadi tak masuk akal jika tak mau jadi petani karena gengsi. Petani bisa hidup berkecukupan kok,” tuturnya.

Lukisan di tengah areal sawah dengan figur-figur sepuh itu berjudul Pahlawan Pangan. “Petani adalah seorang pahlawan. Jika tak ada petani, maka kebutuhan pangan kita akan terhambat,” terang ayah dua anak itu. 

Crueng memberi penajaman pada garis-garis wajah figur tua dalam tiap karyanya. Ia menekankan ekspresi ketuaan tersebut, dengan maksud untuk menyampaikan pesan tentang pentingnya regenerasi pekerjaan sebagai petani. “Saatnya kaum muda bergerak. Mengolah sawah, terjun untuk menjadi pahlawan-pahlawan pangan baru,” ujar alumni Desain Interior, Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta tersebut. 


-Sigit Wahyu Crueng-

Kegemaran Crueng menyusuri desa-desa di berbagai daerah di Jawa Timur dan Yogyakarta, membuatnya terinspirasi. Ia kerap melukis kehidupan masyarakat agraris, berikut tradisi serta keseharian masyarakat. Lewat Pahlawan Pangan, Hasil Tani serta Depan Pasar Alun-alun Keraton, selain menyampaikan pesan tentang regenerasi petani, ia juga mengaktualisasikan kebersahajaan dan keguyuban masyarakat desa. 

“Petani itu setelah bekerja keras di sawah, saat berada di rumah, mereka masih bisa bersosialisasi dengan warga lingkungan sekitar. Guyub, rukun, bersenda gurau. Berbeda dengan di kota,” ungkapnya. Di kota, kehidupan serba cepat. Bahkan tuntutan pekerjaan membuat banyak individu tak sempat bersosialisasi. “Setelah pulang kerja, langsung istirahat. Sudah tak ada waktu untuk bercengkerama dengan orang lain,” tambahnya. 

Sebagian karya-karya Crueng dihasilkan dari proses observasinya tersebut. “Rata-rata on the spot. Melukis langsung di depan objek. Tapi kalau tak sempat, jika menemukan objek menarik, hasilnya langsung saya foto. Kemudian dicetak, dipindahkan dalam media luki. Tentu dengan penambahan-penambahan artistik,” ujarnya. 

Dari jurusan Desain Interior, kini melukis. Crueng menyebut bahwa dirinya mendapat manfaat terkait ilmu yang dipelajarinya semasa kuliah dulu. “Mengerti tentang komposisi, olahan warna dan sebagainya. Karena menata komposisi interior harus cermat. Saat melukis, ilmu itu saya terapkan,” terangnya. 

Namun, dengan melukis Crueng merasa dapat lebih bebas mengaktualisasikan ide-idenya. Ia menemukan kebahagiaan dan kesenangan dalam melukis. “Sampai sekarang masih aktif di dunia desain interior. Kalau interior kan saya cenderung melayani pesanan atau keinginan orang. Tapi kalau melukis, saya bisa idealis. Ikut kata hati dan tanpa paksaan,” pungkasnya, lalu disambung senyuman. (Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas Nugraha) 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: