Obligasi Politik

Obligasi Politik

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

DI medsos sedang viral dialog mendiang John McCain dengan seorang pendukungnya. Dialog itu terjadi saat kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat (AS).

Saat itu senator tersebut sedang bertarung melawan Presiden Barack Obama. Tahun 2008. Ketika presiden ke-44 AS yang pernah mengenyam SD di Jakarta itu bertarung untuk jabatan periode pertama.

McCain menjadi calon presiden dari Partai Republik. Sedangkan Obama menjadi calon presiden Partai Demokrat. Inilah kali pertama seorang kulit hitam dari Afrika-Amerika menjadi calon presiden di negeri adidaya itu.

Obama mendapat persekusi keras dari kalangan kulit putih. Yang dalam sejarah negeri itu menjadi kasta tertinggi. Merasa menjadi ras unggul bila dibandingkan dengan warga kulit hitam. 

Itu problem sosial yang juga sedang dihadapi negeri yang mengeklaim diri sebagai kampiun demokrasi tersebut. Luka yang dikorek kembali untuk kepentingan pemenangan politik.

Dalam sebuah kampanyenya, seorang perempuan menyatakan tak percaya kepada Obama. ”Saya tidak percaya Obama. Dia keturunan orang Arab,” katanyi.

Mendengar pernyataan itu, McCain langsung geleng-geleng kepala. Ia pun segera mengambil alih mik yang ada di tangan perempuan pendukungnya.

”Tidak…tidak,” katanya. McCain lantas menjelaskan bahwa Obama warga negara AS. Ia keluarga yang baik. Pembayar pajak. ”Hanya saya berbeda pandangan tentang bagaimana mengelola negeri ini,” tegasnya.

McCain dengan sadar tak ingin kebenciaan berdasarkan SARA berkembang dalam pilpres di AS. Ia seorang negarawan. Ia mencegah pendukungnya menggunakan prasangka SARA kepada lawan politiknya. 

Kenegarawanan McCain itu menarik untuk disimak terkait dengan perkembangan politik kita. Yang sejak satu dekade belakangan berkembang penggunaan politik identitas untuk memenangkan pertarungan.

Sayang, kenegarawanan politikus Republikan itu dirusak Donald Trump. Yang menyulut bara kebencian di kalangan pendukungnya. Dengan memanfaatkan benih konflik sosial di masyarakatnya untuk kepentingan politiknya. Yang membiarkan kebencian berdasar ras dan agama terus membara.

Yang seperti itulah yang disebut politik identitas. Menggunakan identitas tradisional seperti suku, agama, dan ras untuk keuntungan politik secara sepihak. Menjadikan kebencian terhadap kelompok lain sebagai modal dukungan.

Ratusan tahun AS dibangun menjadi negara yang secara politik paling rasional. Yang tidak mendefinisikan warga negara menurut suku dan agama. Sesuatu yang sering dimanipulasi pelaku politik identitas.

Selain program berdasarkan platform partai politiknya, seorang pemimpin di AS selalu mengedepankan nilai-nilai. Nilai kemanusiaan dan demokrasi. Dengan menelusur sanat pemikiran tentang negara dan bangsanya.

Sumber: