Obligasi Politik
-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-
Karena itu, sebelum Donald Trump, kita suka mendengarkan pidato para politikus di AS. Kita bisa membaca visinya tentang negara dalam pidato-pidato politik presidennya. Saya selalu senang setiap Obama berpidato.
Bahkan, saya pernah bermimpi bagaimana para politisi Indonesia bisa berpidato seperti itu. Dengan kerangka berpikir yang runtut, bicara secara sistematis, dan semua yang keluar dari mulutnya bermakna atau penuh arti.
Politisi memang seharusnya public speaker yang andal. Orator ulung. Yang kalau berbicara bisa meyakinkan orang yang diajak bicara. Politisi bukan sekadar pajangan. Pengisi kursi di gedung parlemen.
Namun, lebih dari itu, pemimpin politik perlu memiliki standar wisdom. Parameter nilai-nilai bijak. Standar nilai hukum formal prosedural. Secara hukum formal memenangkan pemilu dengan 50 plus 1 itu sah.
Namun, kalau kemenangan tersebut diperoleh dengan menghalalkan segala cara, itu melanggar nilai wisdom. Melampaui standar moral dari sebuah sistem demokrasi. Apalagi, yang menyandarkan diri dalam nilai-nilai luhur yang terumuskan dalam Pancasila.
Di sinilah saya setuju dengan ketua umum PBNU yang menentang penggunaan politik identitas dalam pemenangan calon presiden. Menggunakan nilai-nili agama untuk mengunggulkan maupun menurunkan citra kandidat yang diusungnya.
Seharusnya, standar moral itu juga menjadi acuan para kandidat. Dengan mengendalikan para pendukungnya untuk tidak menggunakan cara-cara menebar fitnah dan kebencian. Bukan malah membiarkan karena dianggap akan menguntungkan dirinya.
Pembelahan yang berkelanjutan akibat kontestasi politik sekarang karena belum semua aktor politik kita menggunakan wisdom dalam memenangkan pertarungan. Rekam jejak seseorang tak hanya dilihat soal prestasi, tapi juga jejak dalam menapaki tangga politik.
Ketika ia melakukan pembiaran dan mengabaikan john dalam mencapai kemenangan, ia bisa dianggap tak pantas memimpin sebuah bangsa. Donald Trump yang punya rekam jejak membelah bangsa AS seharusnya tak layak untuk menjadi calon kembali. Kalau sampai ia terpilih kembali, bangsa itulah yang harus merekonstruksi standar moral kembali.
Kepemimpinan politik seharusnya bertujuan akhir membangun kehidupan bersama. Kehidupan bersama itu hanya bisa terjadi jika semua elemen yang berbeda bisa saling menghargai. Bersama membangun komitmen kalah dan menang sesuai dengan konstitusi.
Bukan terus merongrong yang menang dan mencaci yang kalah selamanya. Dalam politik, kompetisi seharusnya terjadi pada setiap periode yang telah ditentukan konstitusi. Ada yang diugemi bersama. Yakni, konsensus dalam menjaga harmoni bersama.
Ada yang bilang, seorang pemimpin harus punya obligasi politik. Jaminan bahwa ia bisa memimpin, mengendalikan, dan mengarahkan pendukungnya. Pemimpin yang tidak membiarkan permusuhan dan kebencian terus membara di antara anak bangsa. Semoga ini bukan sekadar utopia. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: